Hibata.id – Aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) di Desa Bulangita, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, kian menjadi bukti telanjang dari lemahnya penegakan hukum dan buruknya pengawasan lingkungan. Di tengah panas menyengat dan debu yang menyesakkan, puluhan alat berat jenis ekskavator terus menggaruk isi perut bumi tanpa ampun.
Ironisnya, lokasi tambang ini hanya sepelemparan batu dari pusat Kota Marisa, namun kedekatan geografis itu tidak dibarengi dengan perhatian serius dari pihak berwenang. Apa yang terjadi di Bulangita bukan sekadar pelanggaran hukum—ini adalah pengkhianatan terhadap alam, terhadap warga, dan terhadap masa depan generasi mendatang.
Hutan digunduli, kontur tanah dihancurkan, sungai tercemar, ekosistem hancur lebur. Semua terjadi tanpa izin, tanpa kajian lingkungan, dan tanpa regulasi. Brutal. Beringas. Tak terkendali. Yang lebih mengkhawatirkan, semua ini terjadi terang-terangan, bukan di balik bayang-bayang malam atau di pelosok terpencil.
Aktivitas ilegal ini berlangsung tepat di hadapan mata aparat dan pejabat yang seharusnya bertindak—namun hingga kini, tak satu pun langkah tegas terlihat. Padahal, pada Minggu (4/5/2025) lalu, banjir bandang melanda Desa Bulangita yang diduga kuat akibat PETI yang terus beroperasi itu.
Pasalnya, sungai yang dulunya tenang di desa tersebut kini telah berubah menjadi arus liar yang menghancurkan tanggul, merendam puluhan rumah, dan memutus akses jalan utama. Warga menyebut, setidaknya sepuluh ekskavator aktif menggali di sekitar permukiman tanpa henti.
“Air masuk sampai ke dalam rumah. Jalan air jebol. Sungai seperti tidak punya jalur,” ujar seorang warga, menunjuk ke ekskavator yang masih beroperasi tak jauh dari rumahnya.
Ironisnya, menurut warga, beberapa tokoh desa justru mendukung aktivitas tambang ilegal ini. Bahkan, dalam pertemuan resmi di kantor desa, keberadaan alat berat seolah mendapat restu. Ketika bencana datang, bukan pemerintah yang hadir memberi bantuan, melainkan pihak tambang itu sendiri—mencoba tampil sebagai “penyelamat” dari kehancuran yang mereka ciptakan.
“Mereka yang merusak, mereka pula yang pura-pura memperbaiki. Ini seperti sandiwara murahan,” kata warga lain dengan nada getir.
Kini, Desa Bulangita berada di ujung tanduk: akses jalan rusak, rumah warga hancur, rasa aman hilang, dan sungai yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi ancaman mematikan. Namun, hingga berita ini terbit, ada tindakan dari pemerintah, tidak ada empati, hanya keheningan yang menyelimuti penderitaan warga.
“Apakah desa ini harus tenggelam dulu baru ada yang bergerak?” tanya seorang warga dengan mata berkaca-kaca.
Menurutnya, Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah akibat dari pembiaran sistematis, lemahnya penegakan hukum, dan kegagalan moral para pemimpin lokal. Jika aktivitas tambang ilegal terus dibiarkan, bencana berikutnya bisa menelan lebih dari sekadar rumah dan harta—tetapi juga hati nurani kita sebagai bangsa.
Sayangnya, ketika menghubungi Kepala Desa Bulangita, Fendi Diange, pada Selasa (6/5/2025) melalui pesan WhatsAp, dirinya hanya menjawab dengan teka-teki. Ia menyarankan agar wartawan datang langsung ke lokasi untuk mengecek apakah jalur air benar-benar diubah oleh tambang ilegal.
“Alangkah baik bapak datang langsung cek itu jalan air di roba oleh penambang atau tidak… supaya jelas pemberitaan,” katanya, tanpa menunjukkan sikap tegas atau keberpihakan terhadap warganya.