Hibata.id – Koalisi besar Presiden Prabowo Subianto di tingkat nasional, yang dikenal dengan nama Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus), telah membentuk barisan kekuatan politik yang solid di Senayan. Namun, apakah gelombang kekuasaan ini benar-benar merembes hingga ke pelosok daerah seperti Gorontalo?
Hasil wawancara dengan berbagai narasumber mengungkap satu benang merah, pengaruh koalisi nasional terhadap politik lokal di Gorontalo ternyata tidak sekuat yang diperkirakan. Politik lokal memiliki dinamika sendiri lebih cair, pragmatis, dan berbasis kepentingan langsung masyarakat.
Ghalib Lahidjun, anggota DPRD Provinsi Gorontalo dari Fraksi Golkar, menyampaikan bahwa perbedaan orientasi politik antara pusat dan daerah adalah hal yang lumrah.
Meski Golkar tergabung dalam koalisi nasional pendukung Prabowo, Ghalib menegaskan bahwa koalisi tersebut tidak otomatis terbentuk di tingkat provinsi.
“Partai yang berduel di nasional bisa jadi berkoalisi di daerah. Maka jalannya politik di DPRD tidak terlalu menimbulkan dampak yang signifikan dari koalisi nasional,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ghalib menyatakan bahwa dalam proses legislasi pun, fraksi-fraksi tidak selalu terikat pada garis koalisi pusat.
“Setiap anggota DPRD membawa aspirasi masyarakatnya masing-masing. Kepentingan lokal lebih menentukan sikap politik di ruang sidang DPRD,” katanya.
Nada berbeda disampaikan Espin Tulie, anggota DPRD dari PDI Perjuangan. Ia mengkritisi pembentukan koalisi besar di tingkat nasional sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan yang bisa menurunkan kualitas demokrasi.
“Koalisi ini memang efektif untuk membagi kekuasaan dan memperlancar proses politik. Tapi resikonya adalah melemahnya fungsi check and balance. Lebih banyak yang mengangguk daripada yang mengingatkan,” tegas Espin.
Mengenai tantangan PDIP sebagai partai yang tidak masuk dalam koalisi nasional, Espin justru melihat momentum itu sebagai penguat konsolidasi internal.
“PDIP punya simpul-simpul kader yang kuat di Gorontalo. Strateginya sederhana: sajikan fakta, libatkan kader, dan terus berada bersama warga,” tambahnya.
Menurutnya, kunci eksistensi partai bukan pada posisi koalisi atau oposisi, melainkan pada kemampuan untuk responsif dan permisif terhadap isu-isu rakyat.
“Yang utama adalah konsistensi dan integritas terhadap kepentingan warga,” tuturnya.
Hendra Yasin, pengamat politik dan Disen dari IAIN Sultan Amai Gorontalo, menilai bahwa koalisi nasional tidak otomatis menciptakan dampak politik signifikan di Gorontalo.
Ada dua alasannya: pertama, struktur koalisi di pusat tidak bersifat permanen dan tidak selalu dipantulkan ke daerah; kedua, secara geografis dan struktural, Gorontalo cukup jauh dari episentrum kekuasaan nasional di Jawa.
“Dinamika politik nasional tidak selalu menjadi fokus utama masyarakat Gorontalo, karena daerah punya isu sendiri yang lebih konkret dan dekat,” jelas Hendra.
Menurutnya, perubahan dalam pola interaksi politik antarpartai di daerah tidak terlalu kentara meskipun ada koalisi besar di pusat.
Hendra Yasin menyebutkan bahwa ada faktor lain yang lebih signifikan memengaruhi politik lokal, seperti ketika kepala daerah dan menteri berasal dari partai yang sama. Hal ini bisa mempercepat implementasi program tertentu di daerah.
“Isu nasional jarang dikonversi secara langsung ke daerah. Justru aktor lokal seperti gubernur dan bupati lebih menentukan arah kebijakan lokal,” tambahnya.
Dari hasil penelusuran ini, satu kesimpulan jelas muncul yaitu politik lokal di Gorontalo lebih dipengaruhi oleh dinamika internal dan aspirasi masyarakat daripada oleh kekuatan politik nasional.
Koalisi besar di Jakarta memang menciptakan lanskap baru dalam pemerintahan pusat, namun tidak serta-merta menggoyang pondasi relasi antarpartai di provinsi.
Sebagaimana diungkap Espin Tulie, dalam politik, tidak ada koalisi yang permanen. Yang ada hanyalah komunikasi, kepentingan, dan konsistensi terhadap rakyat.
Sementara itu, suara akar rumput tetap menjadi penentu, warga Gorontalo lebih peduli pada siapa yang hadir, bekerja, dan menjawab kebutuhan mereka apakah itu dari koalisi atau bukan