Hibata.id – Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tamang (Jatam) Nasional mengatakan, apa yang terjadi di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo merupakan puncak dari pembiaran Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemerintah daerah yang tidak memberikan penindakan terhadap aktivitas terlarang tersebut.
Baca Juga: Total Korban Longsor Tambang Suwawa 325 Orang, Pencarian Ditutup
Pasalnya, kata Jamil, selama ini APH dan Pemerintah Daerah seakan tutup mata atau terus melakukan pembiaran dengan aktivitas terlarang yang sudah puluhan tahun itu beroperasi. Padahal, katanya, APH dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban hukum untuk menindaki aktivitas terlarang tersebut.
Apalagi, katanya, lokasi penambangan di Desa Tulabolo Timur ini kerap menggunakan sianida dan merkuri untuk menangkap emas. Kedua bahan kimia itu merupakan cairan yang berbahaya yang dapat mematikan jika terdampak langsung. Ia bilang, tambang ilegal tidak memiliki kaida atau metode secara lingkungan hidup sehingga dipastikan sangat berbahaya dan dapat merusak lingkungan.
Baca Juga: Korban Tewas Longsor Tambang Suwawa 26 Orang, 1 Jenazah Tak Utuh
“Orang-orang bisa terpapar secara langsung dan bahan-bahan kimia yang dipakai untuk menangkap emas. Ini sangat berbahaya kepada kesehatan hingga lingkungan,” kata Muhammad Jamil kepada Mongabay, pada Selasa 9 Juli 2024.
Jamil mencurigai, aktivitas pertambangan di Suwawa Timur ini ada bekingan dari APH sehingga terus beraktivitas dengan mulus. Dugaan itu seperti penelitian yang dilakukan oleh Jatam Nasional di sejumlah PETI yang ada di beberapa wilayah di Indonesia. Buktinya, kata Jamil, APH dan Pemerintah Daerah seperti diam melihat aktivitas tambang ilegal di di Suwawa Timur ini.
Apa yang dikatakan Jamil itu selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Lynda Tinengke melalui skripsinya yang berjudul “Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Dalam Menertibkan Pertambangan Rakyat Di Desa Tulabolo Timur Kecamatan Suwawa Timur Kabupaten Bone Bolango,” yang dibuat pada 2015 untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Baca Juga: Polda Gorontalo Identifikasi Jenazah Korban Longsor Tambang Suwawa
Hasil penelitian Lynda itu menyebut, tanggung jawab pemerintah daerah dalam menertibkan pertambangan rakyat di Desa Tulabolo itu belum maksimal karena dari 8 lokasi tambang hanya 1 lokasi tambang yang ditertibkan. Terbatasnya dana untuk operasional penertiban pertambangan ilegal dari pemerintah daerah menjadi salah satu hambatan.
Selain itu, tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap lingkungan hidup yang masih rendah menjadi salah satu penyebab aktivitas terlarang it uterus beroperasi. Terlebih lagi, lokasi tambang menjadi sumber pendapatan ekonomi keluarga. Kesulitan dalam mengidentifikasi masyarakat pekerja tambang yang berasal dari luar daerah juga menjadi salah satu penyebab.
Dampak dari pembiaran akivitas pernambangan ilegal ini di Desa Tulabolo ini juga dijelaskan dalam Policy Brief yang dibuat oleh Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) pada 2015. Dalam temuan mereka menemukan, PETI di Desa Tulabolo ini memicu kehilangan penerimaan negara serta merusak lingkungan hidup.
Dalam temuan JiKTI itu juga menyebut, PETI di Desa Tulabolo ini kerap terjadi kecelakaan yang memakan korban luka-luka dan meninggal dunia, serta berbagai penyakit. PETI ini juga memicu Iklim investasi tidak kondusif karena mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Tak hanya itu, JiKTI juga menemukan tambang ilegal di Suwawa Timur ini juga memicu terjadinya pemborosan sumber daya mineral. Dimana, teknologi penambangan dan pengolahan yang dilakukan di lokasi tersebut sangat sederhana, sehingga perolehannya sangat kecil. Cadangan yang masih tertinggal di dalam tanah maupun limbah hasil pengolahan sangat sulit untuk ditambang atau diolah kembali karena kondisinya sudah rusak.
Disisi lain, cukong atau pengusaha yang mendapatkan manfaat lebih besar dari aktivitas terlarang di Desa Tulabolo ini justru kerap tidak ditindak oleh APH. Gejolak sosial pun sering kali terjadi, baik masyarakat setempat dengan pelaku PETI (pendatang), maupun di antara sesama pelaku PETI sendiri dalam upaya mempertahankan kepentingan masing-masing.
Menurut Jamil, aktivitas PETI yang ada di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo harus ditutup untuk menghindari dampak lanjutan yang akan terjadi kepada para penambang. Apalagi, katanya, penambangan ilegal merupakan tindakan pidana karena melanggar berbagai undang-undang dan peraturan yang berlaku, serta menimbulkan dampak negatif yang signifikan.
Jamil bilang, perlu juga melakukan penegakan hukum atas hilangnya nyawa akibat tanah longsor itu. Menurutnya, tanah longsor ini bukan bencana murni yang terjadi, tetapi karena ada aktivitas terlarang. Katanya, pengusaha tambang atau cukong-cukong yang menerima manfaat lebih besar dari aktivitas ilegal itu harus dimintai tanggung jawab atas hilangnya puluhan nyawa ini.
Bukan hanya itu, kata Jamil, para penada sianida dan merkuri juga perlu ditangkap oleh APH agar aktivitas penambangan ilegal tidak beroperasi lagi. Menurutnya, Pemerintah Daerah juga harus memikirkan ekonomi kerakyatan yang dapat memberikan pekerjaan baru kepada para penambang agar mereka tidak lagi terlibat dalam aktivitas terlarang tersebut.
Menurutnya, jika Pemerintah Daerah tidak menyediakan lapangan pekerjaan kepada para penambangan di Suwawa Timur ini, berarti para penambangan ini disengaja diperhadapkan dengan situasi tanpa pilihan. Sehingga, katanya, para penambangan melihat satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah menambang ilegal
“Jika kemiskinan dibiarkan, maka warga tidak ada pilihan lain selain melakukan penambangan ilegal. Para penambang ini tahu bahwa tambang ilegal yang mereka lakukan ini sangat merusak lingkungan dan berbahaya ke kesehatan. Tapi mereka tidak diberikan pilihan lain, sehingga perlu ada solusi dari Pemerintah Daerah,” ujarnya
Jamil menegaskan, para penambang di wilayah PETI sebenarnya merupakan korban dari cukong-cukong tersebut. Sehingga, katanya, para pengusaha tambang itu harus dikejar pertanggungjawaban karena telah merekrut tenaga kerja di lokasi itu. Hak korban atau hak para penambang, kata dia, perlu dicarikan jalan keluar untuk pemulihan mereka agar bisa keluar dari lingkaran setan itu.
“Jangan sampai tanah longsor ini disebut bencana murni demi mengalihkan pertanggungjawaban atas hilangnya nyata puluhan para penambang ini,” tegasny
Kombes Pol Desmont Harjendro, Kabid Humas Polda Gorontalo tak mau menanggapi soal status penambangan ilegal yang memicu tanah longsor tersebut. Ia bilang, pihaknya saat ini masih fokus dalam penanganan evakuasi korban tanah longsor. Setelah itu selesai, pihaknya akan melakukan penertiban penambangan ilegal tersebut.
Desmont Harjendro mengaku, sudah beberapa kali melakukan berbagai upaya penertiban, dan sudah ada beberapa yang dilakukan penahanan dan penegakan hukum. Meski begitu, ia tak pungkiri tambang ilegal di Bone Bolango itu tetap subur beroperasi. Ia bilang, ini hanya menyakut masalah hidup, jadi perlu ada keterlibatan semua pihak, dan masyarakat harus memahaminya.
Desmont mengingatkan, risiko penambangan ini memang sangat tinggi untuk melakukan penambangan ilegal ini. Ia berharap, bencana tanah longsor yang sudah terjadi ini dapat mempengaruhi para penambang untuk mengambil sikap untuk tidak lagi melakukan penambangan di lokasi tersebut.
“Untuk saat ini, kita masih fokus untuk penanganan bencananya. Kedepan pasti kita akan melakukan upaya-upaya penertiban,” kata Kombes Pol Desmont Harjendro seperti dikutip di TV One.