Hibata.id – Kota Gorontalo kembali menarik perhatian, bukan karena kisah politik lokal atau urusan tambang, tapi karena masa depan planet ini. Pada Kamis, 24 April 2025, Bandhayo Lo Yiladia (BLY)—gedung megah berarsitektur adat yang biasa jadi saksi seremoni—berubah menjadi ruang kerja kolaboratif lintas sektor. Di sanalah Pemerintah Kota Gorontalo memulai langkah penting sebagai pilot project perencanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia.
Lokakarya bertajuk “Perencanaan Bersama dan Kolaborasi Multi Pihak SDGs 2025–2027” ini dibuka oleh Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Kota Gorontalo, Deddy Kadullah. Dalam sambutannya, Deddy tak sekadar membacakan naskah sambutan, melainkan menegaskan bahwa Kota Gorontalo kini berada di jalur strategis pembangunan global.
“Kami menjadi bagian dari delapan daerah percontohan di Indonesia. Ini kehormatan, sekaligus tanggung jawab besar,” kata Deddy. Proyek ini merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jerman melalui GIZ, lembaga pembangunan internasional Jerman, dalam fase kedua program penguatan kapasitas perencanaan kebijakan untuk implementasi Agenda 2030.
Dari Sabang sampai Merauke, hanya delapan daerah yang dipilih. Kota Gorontalo, salah satunya—bersanding dengan enam provinsi dan tujuh kabupaten/kota lainnya. Penunjukan ini menandai pengakuan terhadap kesiapan Gorontalo untuk tidak sekadar mengikuti arus pembangunan, tapi memimpin sebagian kecil dari arus itu.
Namun agenda besar ini tidak semata pada tataran makro. Lokakarya ini menekankan pentingnya pengelolaan data pembangunan yang akurat dan transparan—sesuatu yang kerap menjadi titik lemah perencanaan di daerah. Tak hanya itu, prinsip inklusivitas menjadi penekanan utama: pengarusutamaan kesetaraan gender dan inklusi sosial masuk dalam seluruh tahapan perencanaan. Sebuah pengejawantahan dari semboyan SDGs: No One Left Behind.
Di ruang lokakarya, duduk berderet para pengambil kebijakan, akademisi, tokoh agama, profesional, hingga masyarakat sipil. Mereka tak hanya hadir sebagai tamu undangan, tapi mitra berpikir yang sejajar. Kota Gorontalo ingin membuktikan bahwa kolaborasi bukan jargon, tapi cara kerja.
Menutup lokakarya, Deddy menyampaikan harapan yang tak kalah penting dari seluruh rumusan teknokratik: “Kami ingin SDGs ini bukan hanya jadi laporan ke Jakarta atau Jerman, tapi jadi napas dari pembangunan di sini. Di Gorontalo. Untuk semua.”
Waktu akan menguji seberapa jauh langkah ambisius ini bisa menembus sekat-sekat birokrasi, kebiasaan lama, dan ego sektoral. Tapi satu hal pasti, Kota Gorontalo sudah melangkah lebih awal dari banyak daerah lain.