Hibata.id – Wilayah Popayato Serumpun, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, saat ini tengah menghadapi krisis lingkungan serius akibat maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Aktivitas tambang ilegal yang tak terkendali ini tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga memicu kelangkaan air bersih yang kian mengancam kehidupan masyarakat.
Ironisnya, di tengah darurat ekologis ini, aparat penegak hukum dan pemerintah daerah dinilai bersikap pasif dan tidak menunjukkan kepedulian yang memadai.
Jumardin Lalesa dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Popayato (AMPP) mengaku sangat geram dan kekecewaan terhadap lemahnya penegakan hukum dan pengawasan dari aparat serta sikap abai pemerintah daerah.
“Hukum seolah kehilangan daya di Popayato Serumpun. Aktivitas tambang ilegal terus berlangsung tanpa hambatan, khususnya di kawasan hutan lindung KM 18, Popayato Barat,” katanya.
Jumardin bilang, Kapolsek Popayato Barat hanya menjadi penonton bisu dan krisis ekologi ini. Ia juga sebut Kapolres Pohuwato, AKBP Busroni, pun tampak tak lagi memiliki keberanian dan komitmen sebagai penegak hukum.
Jumardin menilai bahwa pembiaran terhadap praktik PETI bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan kejahatan lingkungan yang sistematis, yang menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.
Akibat aktivitas tambang ilegal tersebut, masyarakat Popayato kini kesulitan memperoleh air bersih. Sumber-sumber air utama yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga telah tercemar oleh limbah tambang dan logam berat.
“Kami tidak meminta lebih. Kami hanya ingin hidup layak di tanah sendiri. Tapi hutan kami dirusak, air kami diracuni, dan hukum kami diabaikan,” ungkapnya.
AMPP juga mengecam klaim aparat yang menyatakan bahwa tambang dilakukan demi kesejahteraan rakyat. Mereka menyebut dalih tersebut sebagai pembenaran yang menutupi praktik bisnis gelap yang merugikan masyarakat luas.
“Jangan jadikan rakyat sebagai tameng untuk meraup keuntungan dari tambang ilegal. Popayato bukan tempat untuk memperkaya diri secara ilegal,” sambung Jumardin.
Menurutnya, nilai-nilai luhur institusi kepolisian—melindungi, mengayomi, dan melayani—telah dikubur dalam praktik pembiaran yang sistematis terhadap aktivitas ilegal.
AMPP pun menuntut agar Kapolda Gorontalo segera mengevaluasi dan mencopot Kapolres Pohuwato serta Kapolsek Popayato Barat atas kegagalan moral dan sosial mereka dalam menegakkan hukum.
“Kami minta Kapolda Gorontalo turun langsung ke lapangan dan melihat kerusakan yang terjadi. Ini bukan laporan rekayasa, ini kenyataan pahit yang menghantam kehidupan kami,” tegasnya.
Tidak hanya aparat kepolisian, AMPP juga menyayangkan sikap Pemerintah Daerah Pohuwato yang dianggap lepas tangan terhadap penderitaan masyarakat Popayato Serumpun.
“Pemda tampak tidak peduli dengan kerusakan hutan negara dan krisis air bersih yang kami alami akibat tambang ilegal. Mereka seakan menutup mata atas penderitaan warga,” ucap Jumardin.
Ia pun mengingatkan bahwa jika pembiaran ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Kabupaten Pohuwato akan berubah menjadi tempat aman bagi para pelaku kejahatan.
“Jika hukum tidak ditegakkan, daerah ini bisa berubah menjadi ‘surga’ bagi pelanggar hukum. Kejahatan akan semakin masif dan tak terkendali,” ujarnya menutup pernyataan.
AMPP menegaskan komitmennya untuk terus menggalang solidaritas serta mengawal proses advokasi hingga tuntutan mereka terpenuhi. Mereka berjanji tidak akan diam dan terus memperjuangkan hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan kehidupan yang layak.