Hibata.id – Dalam khazanah budaya Sunda, panggilan “Ujang” memiliki makna yang dalam sebagai identitas anak laki-laki di Tanah Pasundan. Namun, seiring perkembangan zaman, istilah yang sarat nilai kekeluargaan ini mulai jarang terdengar di tengah masyarakat Sunda modern.
Secara etimologis, “ujang” dalam bahasa Sunda berarti anak laki-laki atau adik laki-laki. Penggunaan istilah ini mencerminkan hubungan emosional yang erat dalam struktur sosial masyarakat Sunda, khususnya dalam lingkungan keluarga dan kerabat dekat.
Dalam tradisi Sunda, sistem sapaan dibangun berdasarkan usia dan kedudukan sosial. “Ujang” digunakan untuk memanggil yang lebih muda, sedangkan “Kang” atau “Akang” ditujukan bagi laki-laki yang lebih tua atau dihormati. Bagi perempuan, sapaan “Eneng” diberikan kepada yang lebih muda, dan “Teteh” untuk yang lebih dewasa, menggambarkan nilai penghormatan terhadap hierarki sosial yang kuat dalam budaya Sunda.
Panggilan “Ujang” tidak hanya mempererat hubungan keluarga, tetapi juga menjadi simbol penerimaan sosial di lingkungan masyarakat. Dalam keseharian, penggunaan sapaan ini menciptakan suasana akrab, penuh kehangatan, serta menjadi media untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terjadi pergeseran signifikan dalam kebiasaan penamaan di kalangan masyarakat Sunda. Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Jawa Barat menunjukkan adanya penurunan tajam dalam penggunaan nama-nama tradisional Sunda, termasuk “Ujang”, sejak awal 2000-an.
Beberapa ahli budaya mengaitkan fenomena ini dengan pengaruh globalisasi dan ekspansi budaya populer melalui media massa. Urbanisasi juga berperan besar, di mana masyarakat yang berpindah ke kota-kota besar cenderung mengadopsi budaya luar dan memilih nama-nama modern atau bernuansa keagamaan untuk anak-anak mereka.
Kondisi ini mengundang keprihatinan sejumlah budayawan Sunda yang menilai pentingnya upaya pelestarian identitas lokal di tengah arus modernisasi. Pelestarian panggilan tradisional seperti “Ujang” dinilai tidak hanya mempertahankan kekayaan bahasa, tetapi juga memperkuat jati diri budaya Sunda di masa depan.