Hibata.id – Di lembah-lembah sunyi Balayo, suara ekskavator meraung tanpa jeda. Seolah bukan lagi aktivitas sembunyi-sembunyi, pertambangan emas tanpa izin (PETI) di kawasan ini kini berjalan terang-terangan—liar, brutal, dan tak tersentuh.
Sudah berulang kali aparat penegak hukum mengklaim melakukan penertiban. Tapi realitas di lapangan berkata lain. Tak ada pelaku yang ditahan, tak ada alat berat yang disita, tak satu pun bukti yang diumumkan ke publik. Yang terdengar hanya janji, sementara suara mesin terus menandai kerakusan yang merobek bumi Balayo.
Di balik keganasan tambang ilegal ini, muncul bisik-bisik yang kian nyaring: aparat tak sekadar abai—mereka diduga memberi restu. Nama Kapolsek Patilanggio, IPDA Yudi S Salim, disebut-sebut oleh sejumlah sumber sebagai pihak yang mengetahui, bahkan mungkin merestui operasi PETI di wilayah hukumnya.
Saat dimintai klarifikasi oleh Hibata.id melalui pesan whatsapp, Yudi IPDA Yudi S Salim memilih bungkam. Tak ada pernyataan, tak ada bantahan. Hanya keheningan yang mencurigakan. Faktanya ini justru memperkuat dugaan keterlibatannya atas aktivitas PETI di Balayo.
“Aktivitas tambang ilegal sampai hari ini masih beroperasi,” ujar seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya kepada media Hibata.id, pada Jumat (18/04/2025). Ia bilang. PETI di Balayo nyaris tak pernah berhenti sejak awal tahun, seolah tak ada yang bisa—atau mau—menghentikan.
Pasalnya, Pasal 158 Undang-Undang Minerba sebetulnya sangat jelas: kegiatan tambang tanpa izin dapat dipidana hingga lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Tapi hukum di Balayo tampaknya hanya berlaku untuk rakyat biasa, bukan untuk mereka yang punya ekskavator, atau akses ke ruang-ruang gelap kekuasaan.
Kondisi ini memunculkan ironi. Di satu sisi, aparat tampil seolah bertindak. Di sisi lain, tambang ilegal makin beringas. Penegakan hukum pun tampak seperti panggung sandiwara: ada lakon, ada aktor, tapi tak ada perubahan nyata.
Kerusakan lingkungan bukan satu-satunya akibat. Apa yang terjadi di Balayo adalah gambaran kecil dari runtuhnya supremasi hukum. Ketika tambang ilegal dibiarkan beroperasi, dan pejabat yang seharusnya menjaga malah diduga terlibat, maka yang mati bukan cuma hutan dan sungai—tapi juga keadilan itu sendiri.