Hibata.id – Sebuah ironi tragis tengah berlangsung di jantung Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato. Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Desa Popaya dan Desa Karya Baru terus berlangsung dengan masif, tanpa kendali dan tanpa hambatan. Negara tampak absen, hukum seperti mati suri, dan yang tersisa hanyalah kerakusan yang merusak tanah dan mengancam hidup rakyat.
Informasi yang dihimpun Hibata.id pada Selasa (28/04/2025) menunjukkan kondisi yang mencengangkan. Kawasan yang dulunya hijau dan berfungsi sebagai penyangga ekosistem lokal kini berubah menjadi kubangan-kubangan tambang yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Bekas-bekas galian emas itu bukan hanya meninggalkan kerusakan permanen, tapi juga menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit.
Dampak lingkungan yang parah ini turut memperparah krisis kesehatan masyarakat. Genangan air di bekas tambang kini menjadi habitat ideal nyamuk malaria. Wabah penyakit menyebar di antara warga yang tinggal di sekitar lokasi, menjadikan mereka korban dari keserakahan yang dibungkus pembiaran.
Namun, kerusakan ekologis dan krisis kesehatan bukanlah satu-satunya bencana. Aktivitas PETI secara terang-terangan melanggar hukum, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Minerba Pasal 158, yang mengancam pelaku penambangan ilegal dengan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda sebesar Rp100 miliar. Tapi di Dengilo, pasal itu seperti tak lebih dari tinta di atas kertas—karena hukum tampaknya tak punya daya untuk ditegakkan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, institusi yang semestinya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dan perlindungan lingkungan terlihat tak berdaya. Pihak kepolisian dan instansi lingkungan hidup justru tampak bungkam. Diamnya aparat menimbulkan pertanyaan: apakah mereka benar-benar tidak mampu, atau memang sengaja memilih untuk tidak bertindak?
Hingga berita ini diturunkan, aktivitas tambang ilegal di Dengilo masih berlangsung tanpa henti. Tidak ada penindakan, tidak ada penghentian, hanya pembiaran yang terus berlangsung. Yang ada hanyalah ketamakan yang terus tumbuh, sementara hutan menghilang dan masyarakat menjadi korban.
Dengilo bukan lagi sekadar wilayah administratif. Ia kini menjadi simbol nyata dari kegagalan negara—gagal menjaga lingkungan, gagal melindungi rakyat, dan gagal menegakkan hukum.
Pertanyaannya kini: berapa lagi nyawa harus melayang dan berapa luas lagi hutan harus hilang, sebelum negara kembali hadir?