Hibata.id – Di atas tanah yang dulunya hijau dan subur, kini pemandangan di sekitar Lapas Pohuwato berubah drastis. Bukannya ladang pangan atau kebun hortikultura yang menyejukkan mata, yang tampak justru bentang kubangan luas—jejak dari aktivitas pertambangan emas ilegal. Di tengah genangan lumpur, ekskavator-eksavator tampak “berdansa” liar, mengeruk tanah tanpa henti demi butiran emas.
Di balik riuh mesin dan janji semu kekayaan, tersimpan luka mendalam bagi lingkungan. Kegiatan tambang ilegal ini telah mencabik ekosistem secara brutal. Tanah dirusak tanpa belas kasihan, sungai yang dulu jernih kini tercemar bahan kimia berbahaya, dan vegetasi alami menghilang, ditelan kerakusan manusia.
Lebih memilukan lagi, kawasan sekitar Lapas Pohuwato—yang dahulu dikenal sebagai hamparan hijau dengan pepohonan dan tanaman pangan—kini menjelma menjadi lanskap bopeng. Kubangan lumpur menjadi pemandangan utama, sekaligus sarang ideal bagi nyamuk penyebar malaria.
Informasi yang dihimpun Hibata.id pada Rabu malam (23/05/2025), menunjukkan bahwa aktivitas tambang emas ilegal di Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, terus berlangsung dengan intensitas tinggi. Sejumlah ekskavator terlihat beroperasi bebas, seolah berlomba menampilkan “tarian maut” mereka di kubangan-kubangan besar yang terbentuk di sekitar area Lapas Pohuwato.
“Di depan lapas itu, sudah ada alat berat yang beroperasi,” ungkap salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kerusakan lingkungan ini tak hanya mengancam ekosistem lokal, tapi juga membawa risiko besar bagi kesehatan masyarakat dan ketahanan pangan daerah. Pohuwato kini menjadi cermin suram dari lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.
Padahal, Undang-Undang Minerba Pasal 158 sudah sangat jelas menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana hingga lima tahun penjara dan denda sebesar seratus miliar rupiah. Namun, bagi para pelaku tambang ilegal di Balayo, aturan hukum ini seolah hanya sebatas tulisan—tak lebih dari sekadar formalitas yang tak pernah ditegakkan.