Hibata.id – Pagi itu, aula Gedung Banthayo Lo Yiladia (BLY) tampak lebih padat dari biasanya. Para kepala dinas, pejabat struktural, hingga tokoh masyarakat memadati ruangan yang menjadi saksi setiap perencanaan besar Kota Gorontalo.
Tapi kali ini, Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) untuk Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2026 dibuka dengan nada yang lebih keras dan penuh peringatan.
Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, berdiri di podium. Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Ia tak berbasa-basi.
“Jangan bikin dokumen penuh mimpi,” tegasnya. “Saya minta, rencana kerja harus rasional, terukur, dan benar-benar bisa dilaksanakan. Kita bukan sedang menulis novel fiksi.”
Kritik Adhan bukan tanpa alasan. Di tengah keterbatasan anggaran dan tekanan ekonomi pascapandemi, ia ingin memastikan setiap rupiah yang digelontorkan pemerintah kota berujung pada dampak nyata—bukan sekadar daftar proyek formalitas yang dipajang dalam laporan tahunan.
RKPD bukan sekadar kertas kerja. Di tangan Adhan, ia ingin menjadikannya sebagai peta jalan yang konkret, yang menyentuh langsung persoalan masyarakat—dari buruknya infrastruktur, ketimpangan layanan pendidikan dan kesehatan, hingga persoalan klasik seperti banjir dan sampah yang tak kunjung terselesaikan.
Menjawab Masalah, Bukan Menghindarinya
Adhan memaparkan bahwa RKPD 2026 akan difokuskan pada tiga pilar: peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan infrastruktur, dan pengembangan digitalisasi. Semua itu, ujarnya, untuk menjawab tantangan Gorontalo sebagai kota jasa yang religius.
Namun ia tak menutup mata pada tantangan berat di depan. “SDM kita masih lemah, terutama di sektor jasa dan ekonomi kreatif. Infrastruktur belum merata. Nilai religius masih belum menyatu dengan wajah kota. Kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi,” ujar Adhan, blak-blakan.
Solusinya, kata dia, bukan sekadar menggelontorkan anggaran, tapi mendorong inovasi dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus bahu membahu. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” ujarnya.
Dari Dokumen ke Aksi
Nada yang sama digaungkan oleh Sekretaris Daerah Kota Gorontalo, Ismail Madjid. Ia mengingatkan pentingnya efisiensi dalam setiap lembar anggaran. “Strategi penganggaran akan kita perbaiki. Setiap rupiah harus menghasilkan output nyata,” katanya.
Program prioritas masih berpijak pada isu-isu klasik namun krusial: penanganan sampah dan banjir, pembangunan infrastruktur ekonomi, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), serta pemberdayaan masyarakat akar rumput.
“Anggaran kita terbatas, tapi kreativitas kita tidak boleh terbatas. Kita harus efektif, kita harus cerdas,” tutup Ismail.
RKPD memang bukan panggung politik, bukan pula daftar keinginan. Tapi di tangan kepala daerah yang serius, ia bisa menjadi alat transformasi. Tantangannya sekarang: apakah semua kepala dinas dan birokrat di ruangan itu benar-benar siap berhenti bermimpi, dan mulai bekerja?