Hibata.id – Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, tampaknya sudah habis kesabaran. Rumah Sakit Aloei Saboe (RSAS), yang seharusnya menjadi kebanggaan kota sebagai pusat layanan kesehatan rujukan, justru dinilainya tengah dikepung praktik curang dan manajemen bobrok.
Dalam sebuah forum pembinaan internal bersama jajaran RSAS pekan ini, Adhan tak lagi berbicara dalam kode. Ia menyebut secara gamblang adanya keterlibatan “dokter mafia” di balik layanan kesehatan yang timpang.
Salah satunya, dugaan praktik pengalihan pembelian obat ke luar apotek rumah sakit dengan harga selangit—sebuah manuver yang disinyalir menguntungkan pihak ketiga yang telah “bermitra gelap” dengan oknum tenaga medis.
“Saya tidak bicara isu. Ini fakta. Saya tahu siapa dokternya,” ujar Adhan dengan nada tinggi. “Bagaimana bisa rumah sakit jadi rujukan utama kalau internalnya sendiri tidak bersih?”
Ia mengisahkan pengalaman pasien yang diminta membeli obat seharga Rp3,2 juta dari luar, padahal obat tersebut seharusnya tersedia di dalam fasilitas rumah sakit. Skema ini, menurutnya, bukan insiden tunggal. Ada pola. Ada jaringan. Dan lebih buruk lagi—ada pembiaran.
Tak berhenti di keluhan, Adhan membawa peringatan itu ke level aksi. Ia akan membentuk tim khusus evaluasi RSAS, yang terdiri dari gabungan unsur pemerintah, tenaga medis aktif maupun pensiunan, serta tokoh masyarakat. Fokus tim ini: audit manajemen, tata kelola distribusi obat, sistem rujukan, hingga pemosisian dokter spesialis.
“Saya tidak akan bicara di atas kertas. Kalau perlu, saya berkantor dua hari seminggu di RSAS. Semua aktivitas akan saya pantau langsung,” katanya.
Langkah pengawasan itu, lanjut Adhan, akan diperkuat dengan pemasangan sistem monitoring langsung dari Balai Kota. Ia juga menyoroti lemahnya regulasi internal, di mana Peraturan Direktur RSAS yang digunakan saat ini masih merujuk pada dokumen usang dari tahun 2014.
“Ini rumah sakit, bukan museum,” sindirnya.
Di hadapan para tenaga medis, Adhan mengingatkan bahwa rumah sakit bukan semata tempat mencari nafkah, melainkan ladang pengabdian. “Di sinilah kalian hidup, menafkahi keluarga. Jangan biarkan kepentingan pribadi merusak amanah yang lebih besar,” tegasnya.
Pernyataan keras ini dinilai sebagai titik balik penataan RSAS yang selama ini dinilai “mati suri dalam wibawa”. Adhan ingin RSAS berdiri kembali sebagai institusi publik yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan segelintir oknum yang bermain di balik meja periksa.
Transformasi RSAS kini tinggal menunggu: apakah benar Wali Kota akan berdiri di garis depan perubahan? Ataukah ‘dokter mafia’ justru masih akan bertahan dalam sistem yang terlalu lama dibiarkan kebal?