HeadlineKabar

Di Meja Hijau, Petani Plasma Buol Melawan di Atas Awan Gelap Kemitraan Sawit

×

Di Meja Hijau, Petani Plasma Buol Melawan di Atas Awan Gelap Kemitraan Sawit

Sebarkan artikel ini
Yunus, seorang petani plasma yang selama belasan tahun memperjuangkan hak atas tanahnya, menghadapi dakwaan pidana dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Buol. Rabu, 16 April 2025. (Foto: FPPB)
Yunus, seorang petani plasma yang selama belasan tahun memperjuangkan hak atas tanahnya, menghadapi dakwaan pidana dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Buol. Rabu, 16 April 2025. (Foto: FPPB)

Hibata.id – Pengadilan Negeri Buol kembali menggelar sidang perkara yang menyeret petani kecil ke kursi pesakitan. Kali ini giliran M. Yunus, seorang petani plasma yang selama belasan tahun memperjuangkan hak atas tanahnya, menghadapi dakwaan pidana dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Buol. Rabu, 16 April 2025, tim penasihat hukumnya mengajukan eksepsi atas dakwaan yang dianggap penuh kejanggalan, bahkan beraroma kriminalisasi.

Di ruang sidang yang sejuk oleh pendingin ruangan, tapi panas oleh tensi ketidakadilan, M. Yunus duduk tenang. Sorot matanya menyimpan lelah panjang, perjuangan petani plasma yang merasa dikhianati oleh sistem kemitraan sawit, oleh koperasi, bahkan oleh hukum itu sendiri.

Scroll untuk baca berita

Ia didakwa melanggar UU Perkebunan dan KUHP karena dianggap menduduki lahan dan menghasut, atas laporan dari Ketua Koperasi Awal Baru, Suleman Batalipu—sosok yang selama ini berada dalam pusaran konflik lahan di Buol dan diketahui pernah tersangkut kasus penggelapan dana koperasi. Ironisnya, sosok yang dilaporkan petani sebagai pihak bermasalah justru kini berdiri sebagai pelapor.

Baca Juga:  Pemerintah Didesak Usut Dugaan Suap dan Praktik Penindasan Warga oleh Perusahaan Tambang di Pohuwato

Tak berhenti di situ. Kasus ini menyeret tragedi pribadi: sang istri, aktivis tani yang setia mendampingi perjuangannya, meninggal dunia setelah mengalami stres berat dan komplikasi kehamilan. Ia sempat menjalani operasi sesar sebelum mengembuskan napas terakhir, hanya beberapa hari setelah suaminya dijemput paksa oleh POLDA Sulteng pada 14 Januari 2025.

“Istriku meninggal tanpa bisa aku dampingi. Anak-anakku kehilangan ibunya. Dan semua ini karena aku membela tanah kami sendiri,” ujar Yunus dengan suara yang berat.

Sidang eksepsi yang diajukan tim pengacaranya menyoroti dua hal utama: kewenangan absolut—karena kasus ini seharusnya menjadi ranah peradilan keperdataan atau quasi peradilan, bukan pidana—serta struktur dakwaan yang dianggap kabur.

“Ini perselisihan hak, bukan pidana. Ada bukti penguasaan tanah yang sah, dan CPCL yang dipersoalkan justru telah dinyatakan bermasalah oleh KPPU dan diperintahkan diperbaiki,” jelas Budianto E.D Tamin, SH, kuasa hukum Yunus.

Baca Juga:  Keberuntungan Zodiak Tahun 2024, Cek Bintang Kalian

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI pada 9 Juli 2024 memang menyebut PT Hardaya Inti Plantations (HIP) terbukti melanggar Pasal 35 UU No. 20 Tahun 2008. Perusahaan diwajibkan memperbaiki status kemitraan dan CPCL. Tapi alih-alih dijalankan, yang terjadi justru sebaliknya: petani yang menggugat malah dikriminalisasi.

“Ini peradilan yang terbalik,” kata Seniwati, pengurus Forum Petani Plasma Buol. Ia menyebut proses hukum terhadap M. Yunus sebagai bentuk “permainan hukum” yang dipaksakan dan menambah panjang daftar pelanggaran HAM terhadap petani kecil. Ia juga menyinggung buruknya penanganan kasus oleh aparat penegak hukum.

“Laporan petani dilimpahkan begitu saja ke Polda yang jaraknya 18 jam perjalanan. Sementara laporan perusahaan dan koperasi diproses kilat. Di mana presisi dan keadilan itu berada?” ujarnya.

Baca Juga:  Tokoh Politik Gorontalo Dr. Rustam Akili Meninggal Dunia

Yunus bukan satu-satunya yang berjuang. Ribuan petani plasma di Buol mengaku mengalami nasib serupa: lahan mereka dikuasai, tidak menerima bagi hasil bertahun-tahun, lalu dibebani utang tanpa transparansi. Bahkan janji untuk dimasukkan dalam SK CPCL pun tak pernah ditepati, meski mereka telah memberikan lahan mereka untuk ditanami sawit oleh PT HIP sejak lama.

Persidangan ini menjadi barometer bagi masa depan para petani plasma. Jika hukum tetap berpihak pada kekuasaan modal, maka perjuangan M. Yunus hanya akan menjadi catatan kelam lain dalam sejarah agraria Indonesia—sebuah bab tentang bagaimana petani yang berteriak malah dibungkam, dan mereka yang mengeruk keuntungan justru kebal hukum.

“Sidang ini adalah ujian bagi keadilan,” tutup Budianto. “Jika hakim berani membebaskan petani yang memperjuangkan haknya, mungkin masih ada harapan bagi hukum untuk berpihak pada yang lemah.”

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600