Hibata.id – Praktik pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, kembali menguak borok lama yang tak kunjung dibersihkan. Kali ini, bukan hanya tentang penambang yang bermain kucing-kucingan dengan aparat, melainkan dugaan kuat adanya skema pungutan liar berkedok “uang keamanan” yang membuat tambang ilegal terasa legal—dijaga dan dibiarkan hidup oleh mereka yang seharusnya menertibkan.
Kesaksian mengejutkan datang dari salah satu pelaku PETI Dengilo, yang kepada sejumlah wartawan pada Selasa (9/7/2025) membongkar praktik pungli yang sudah dianggap “normal” di lokasi tambang. Dengan suara bergetar, ia menceritakan tekanan yang mereka hadapi dari oknum yang disebut mengoordinasi setoran keamanan demi kelancaran operasi alat berat.
“Setiap kali kami jalankan excavator, wajib setor uang pengamanan. Yang kumpulkan adalah orang berinisial AS. Kalau tidak bayar, siap-siap alat diberhentikan, atau kami diancam,” katanya.
Tak hanya dipalak sekali, sistem pungli yang berjalan disebut memiliki beberapa ‘tim penagih’, dengan masing-masing tarif berbeda tergantung siapa yang membeking. Para pelaku usaha PETI Dengilo ini benar-benar dimanfaatkan oleh mafia-mafia tersebut. Hal itu menimbulkan pertanyaan, siapa saja yang terlibat di balik praktik setoran keamanan yang membuat PETI seolah kebal hukum?.
“Di sini beda-beda tim. Ada yang ditagih sama AS, ada lagi orang lain. Tarifnya juga macam-macam. Ada yang Rp30 juta per alat, ada yang Rp50 juta. Kalau belum bayar, ya siap-siap alat distop,” lanjutnya.
Praktik “iuran keamanan” ini menegaskan bahwa razia terhadap tambang ilegal hanyalah formalitas. Di permukaan aparat terlihat aktif, namun di belakang layar, aliran rupiah terus merembes, menjadi napas buatan bagi ratusan ekskavator yang terus mengoyak hutan Dengilo siang dan malam.
Ketika dikonfirmasi pada Kamis (11/07/2025), AS—sosok yang disebut sebagai pengumpul setoran—membantah keras tuduhan tersebut. “Saya tidak pernah mengumpul kontribusi. Siapa saya sampai bisa kumpul-kumpul begitu dari pelaku usaha? Itu tidak benar,” ujarnya kepada Hibata.id.
“Saya tidak mungkin mengancam pelaku, apalagi sampai urus setoran. Pertanyaannya, siapa yang mau percaya ke saya? Saya ini bukan siapa-siapa,” tegasnya lagi.
Namun, di balik saling bantah itu, fakta lapangan menunjukkan kenyataan yang tak terbantahkan: aktivitas tambang ilegal di Dengilo terus berjalan masif, tanpa hambatan berarti. Di atas kertas, Undang-Undang Minerba secara tegas melarang PETI. Tapi di lapangan, gemerincing rupiah terlalu kuat menenggelamkan pasal demi pasal.
Sementara para penambang kecil terjebak dalam pusaran setoran, ancaman, dan ketakutan, para pemodal tambang ilegal tetap tertawa—berdiri di atas tanah yang dilubangi tanpa ampun, mencemari sungai, menghancurkan ekosistem, dan perlahan: mengancam nyawa orang-orang kecil.