Hibata.id – Kamis malam, 24 April 2025, aula Bandayo Lo Yiladia menjadi saksi konfrontasi yang tak biasa. Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, duduk berhadapan dengan para pengguna petak di Terminal Sentral—sebuah kawasan komersial yang seharusnya menggeliat, namun kini justru jadi lahan sengketa retribusi.
Masalahnya terang: 53 dari 134 petak di terminal itu disegel oleh Dinas Perhubungan (Dishub) bersama Satpol PP. Alasannya klasik, tapi krusial: tunggakan retribusi. “Petak ini kini dalam pengawasan kami,” ujar Kepala Dishub Kota Gorontalo, Hermanto Saleh, tegas.
Namun bukan hanya soal menunggak. Hermanto mengungkap fakta yang lebih serius: sebagian besar penyewa petak yang disegel tak diketahui keberadaannya. “Kami kesulitan menagih. Bahkan barang-barang masih menumpuk di dalam petak kosong,” katanya.
Penyegelan ini bukan langkah spontan. Dishub menemukan bahwa dari total 134 petak, hanya sekitar 15 persen penggunanya yang mengantongi izin resmi dari pemerintah. Sisanya? Ilegal, atau setidaknya abu-abu secara administratif.
“Ini akan kami tindak lanjuti sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Hermanto. Ia menambahkan, selain membayar retribusi, para pengguna petak juga diminta aktif menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan usaha.
Pernyataan itu seolah menegaskan bahwa terminal bukan sekadar ruang sewa, melainkan ruang publik yang harus ditata dan dijaga. Dan pemerintah, kali ini, tampaknya tak ingin lagi mentolerir pembiaran.
Penyegelan ini mengangkat persoalan lama yang kerap luput dari sorotan: lemahnya pengawasan aset publik, tumpang tindih perizinan, hingga rendahnya kesadaran pelaku usaha terhadap kewajibannya. Di balik petak-petak kosong itu, mengendap masalah klasik urban: antara pengelolaan, penegakan aturan, dan kepatuhan warga.