Hibata.id – Bunyi mesin ekskavator kembali meraung di Desa Balayo, Kabupaten Pohuwato. Aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) yang sempat meredup selama Ramadan, kini menggeliat lagi. Yang lebih mengejutkan, nama lama kembali disebut sebagai dalangnya: Ka Uwa, pengusaha tambang ilegal yang disebut-sebut kebal hukum.
Sementara aparat sibuk berpatroli dan mengumbar retorika penertiban, masyarakat mengeluh. Salah satunya, Aswad Lihawa, aktivis dari organisasi Pemuda Peduli Lingkungan Pohuwato, yang secara terbuka menyatakan kekecewaannya pada Kapolres Pohuwato, AKBP Busroni.
“Kapolres saya nilai takut menangkap pelaku tambang ilegal, khususnya Ka Uwa. Ada kabar penertiban waktu Lebaran, tapi nyatanya nihil tindakan,” kata Aswad kepada Hibata.id.
Menurutnya, Ka Uwa tak hanya dikenal sebagai aktor lapangan, tetapi bagian dari sistem yang lebih besar dan terorganisir. Tambang ilegal ini bukan gerakan spontan masyarakat, tapi dikelola seperti perusahaan, lengkap dengan “uang atensi” bulanan untuk mengamankan operasi.
Bahkan dalam wawancara pada 22 Maret 2025, Ka Uwa sempat mengakui adanya aliran dana Rp30 juta per bulan yang diduga untuk keperluan “pengamanan”. Pernyataan itu, bagi Aswad, sudah cukup menjadi petunjuk awal untuk aparat memulai penyelidikan.
“Polisi jangan menunggu laporan masyarakat terus. Itu tanggung jawab institusional. Kalau tidak ditindak, bukan hanya lingkungan yang hancur, tapi kepercayaan rakyat juga runtuh,” tegasnya.
Aswad juga menambahkan bahwa ia pernah menyuarakan tentang keberadaan Ka Uwa, yang diduga terlibat aktif dalam pertambangan ilegal di Desa Balayo, yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.
“Beberapa hari yang lalu saya menyuarakan soal Ka Uwa, yang terlibat sebagai salah satu pelaku usaha tambang ilegal di Desa Balayo. Bukan hanya Ka Uwa, masih banyak lagi pelaku lainnya yang harus diselidiki oleh pihak kepolisian,” tambah Aswad.
Menurutnya, pihak kepolisian seharusnya lebih aktif dalam menyelidiki dan menindaklanjuti temuan-temuan yang ada, bukan hanya bergantung pada informasi yang diberikan oleh masyarakat atau aktivis.
“Tugas polisi adalah untuk menyelidiki dan menindak tegas. Jadi, silakan cari tahu dan bertindak, supaya polisi punya kerjaan,” tegasnya.
Aswad juga menambahkan bahwa pertambangan ilegal ini jelas melanggar hukum, dan harus segera dihentikan untuk menghindari dampak lebih buruk pada ekosistem dan masyarakat.
“Ini adalah perbuatan yang melawan hukum, karena yang seharusnya dilindungi, yakni lingkungan hidup, malah dihancurkan oleh para pelaku yang tidak bertanggung jawab,” tambah Aswad.
Dari lubuk masyarakat, desakan semakin kuat. Mereka tak sekadar meminta tambang ditutup, tapi sistem di baliknya dibongkar. Jaringan PETI yang beroperasi di Balayo disebut tak berdiri sendiri. Nama-nama seperti Ka Uwa hanyalah satu simpul dari jaringan yang lebih luas—berjejaring, tertata, dan terlindungi.
Pernyataan Kapolres Busroni beberapa waktu lalu, yang mengaku “bekerja sepenuh hati, mencari ridho Allah”, kini dipertanyakan substansinya. Sebab faktanya, tambang tetap menggali, alat berat tetap bekerja, dan pelaku tetap melenggang.
“Kami tidak butuh janji, kami butuh tindakan. Ini soal keberanian dan integritas,” kata Aswad menutup pernyataannya.
Ia menyerukan penindakan tanpa pandang bulu. Mereka meminta Kapolres dan aparat penegak hukum lainnya segera bertindak tegas—sebelum Balayo benar-benar rusak, dan hukum hanya menjadi slogan kosong di tengah suara gemuruh tambang.