Hibata.id – Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) kian menggila di wilayah komunal milik warga Desa Popaya, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato. Tambang ilegal yang beroperasi secara terang-terangan ini tak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga melecehkan kewibawaan hukum.
Ironisnya, hingga hari ini, belum ada satu pun langkah konkret dari pihak berwenang. Camat Dengilo, Zakir Ismail, bahkan memilih bungkam. Upaya konfirmasi yang dilakukan redaksi Hibata.id pada Senin (1/6/2025) tidak membuahkan hasil. Camat Zakir Ismail sama sekali tak merespons. Nomor wartawan yang mencoba menghubungi bahkan diduga telah diblokir.
Sikap Camat Dengilo Zakir Ismail ini tak hanya mencerminkan ketidakpedulian, tetapi juga memperlihatkan potensi pembiaran terhadap pelanggaran hukum dan kejahatan lingkungan yang tengah berlangsung di wilayah kekuasaannya.
Di Desa Popaya, suara ekskavator kini menjadi latar keseharian. Kawasan komunal yang seharusnya menjadi ruang hidup dan warisan ekologis warga kini luluh lantak. Hutan ditebangi, tanah dikupas hingga tandus, air menghitam tercemar limbah logam berat, dan udara penuh debu beracun. Lanskap yang dulunya hijau kini berubah menjadi lahan rusak yang nyaris tak bisa dikenali lagi.
Informasi yang dihimpun Hibata.id menunjukkan bahwa alat-alat berat keluar-masuk tanpa hambatan. Tak terlihat satupun tindakan penertiban dari aparat keamanan maupun pemerintah. Seolah hukum berhenti berlaku di sini. Masyarakat hanya bisa menyaksikan kehancuran yang terus menggerogoti tanah mereka—tanpa daya, tanpa perlindungan.
Padahal, aktivitas PETI secara terang-terangan melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang mengancam pelaku dengan pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Namun ancaman itu tampaknya hanya sekadar teks di atas kertas—tak digubris, tak ditakuti.
Tak hanya camat yang memilih diam. Kapolsek Paguat, IPDA Kusno Ladjengke juga memilih bungkam. Nomor wartawan Hibata.id diduga turut diblokirnya. Sebuah sikap yang tidak hanya mencederai profesionalisme, tapi juga mencoreng citra institusi kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum.
Keheningan aparat ini menimbulkan pertanyaan yang menggelisahkan: apakah ini bentuk kelalaian? Atau sebuah pembiaran yang disengaja? Apakah hukum kini tunduk pada kekuatan uang dan alat berat, bukan berdiri untuk rakyat?
Hari ini, Desa Popaya sedang berdarah. Bukan darah manusia, tapi darah ekologi: hutan yang meranggas, sungai yang keruh, dan tanah yang perlahan mati. Aktivitas PETI telah merampas ruang hidup warga, mengancam ketahanan lingkungan, dan meninggalkan warisan kerusakan bagi generasi yang akan datang.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka bukan kesejahteraan yang diwariskan, melainkan kehancuran. Neraka ekologis ini lahir dari kerakusan, kelambanan, dan kegagalan negara hadir untuk rakyatnya.