Hibata.id – Dusun Karya Baru, Desa Balayo, Kabupaten Pohuwato, kini tak lagi hijau. Hutan yang dulu meneduhkan, berubah jadi tanah bopeng penuh lubang dan kubangan. Di sinilah tambang emas ilegal menggali bumi tanpa ampun, mengabaikan hukum dan menenggelamkan nalar lingkungan. Negara? Seolah tak hadir.
Aktivitas tambang liar di Kecamatan Patilanggio kian brutal. Ekskavator bekerja siang malam, mengoyak ekosistem tanpa rambu. “Kami bukan cuma melawan malaria, tapi juga ketidakpedulian,” kata Sumitro Monoarfa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pohuwato. Ia berbicara dalam rapat gabungan dengan DPRD, sehari sebelum laporan ini dihimpun.
Kerusakan ekologis tak lagi jadi ancaman masa depan. Ia telah nyata. Kubangan-kubangan bekas tambang kini menjadi tempat subur bagi nyamuk malaria berkembang biak. Wabah meluas. Lingkungan mati pelan-pelan.
Yang ironis, kegiatan tambang ini bahkan menyentuh kawasan sekitar Lembaga Pemasyarakatan Pohuwato. Penjara yang semestinya dijaga ketat, kini seperti tanah tak bertuan. Ekskavator bebas beroperasi di sekitar lapas. Negara membisu.
Dinas Kesehatan dan DLH mengaku sudah bekerja sejak Februari: fogging, edukasi, bahkan penyuluhan. Tapi semua itu seperti menambal perahu bocor di tengah badai. “Penyakit ini tidak akan berhenti jika tambang terus dibiarkan,” kata Sumitro.
Kondisi terburuk terjadi di Desa Hulawa dan Dengilo. Air tercemar, tanah rusak. Di Hulawa, kubangan-kubangan besar menganga. Di Dengilo, sumber air warga berubah keruh. “Air bersih sudah mulai jadi barang langka,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Keluhan tak hanya datang dari birokrasi. Lembaga Advokasi Independen dan kelompok mahasiswa telah berkali-kali menyampaikan laporan. Bahkan Polres dan Kementerian Lingkungan Hidup sudah digandeng. Tapi, seperti biasa, laporan hanya berhenti di meja. Tak ada ekskavator yang dihentikan. Tak satu pun pelaku ditindak tegas.
“Sudah bertahun-tahun kita lapor, tapi hasilnya nihil,” ujar Sumitro, nyaris pasrah. Ia menyadari: sistem pengawasan terlalu longgar, penegakan hukum nyaris tak berjejak. “Kami sudah lakukan yang kami bisa,” katanya. Tapi semua terasa sia-sia di hadapan tambang yang makin menggila.
Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang bertanggung jawab, tapi ke mana negara saat hukum dilanggar terang-terangan dan rakyat jadi korban? Di Pohuwato, hukum dan lingkungan sama-sama sedang dikubur hidup-hidup.