Hibata.id – Koordinator Aliansi Masyarakat Melawan (AMM), Syahril Razak, mengungkapkan keprihatinannya atas bencana banjir yang melanda Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Menurutnya, bencana tersebut bukan sekadar fenomena alam, melainkan dampak langsung dari kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang masih marak di kawasan hutan Popayato.
“Pemerintah daerah jangan menutup mata terhadap penderitaan yang dialami masyarakat. Kami juga sangat menyayangkan sikap aparat penegak hukum, baik Kapolda Gorontalo maupun Kapolres Pohuwato, yang tampaknya diam menghadapi tuntutan masyarakat terkait pembabatan hutan akibat aktivitas PETI,” tegas Syahril.
Sejak Sabtu (8/3/2025), hujan dengan intensitas sedang hingga lebat mengguyur kawasan Kabupaten Pohuwato. Akibat curah hujan yang tinggi, banjir melanda sejumlah titik, terutama di Kecamatan Taluditi dan Kecamatan Popayato. Menurut informasi sementara, banjir tersebut telah berdampak pada 476 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 1.579 jiwa.
Di Kecamatan Taluditi, desa-desa yang terdampak antara lain Desa Tirto Asri (360 KK/1.178 jiwa), Desa Panca Karsa I (56 KK/175 jiwa), dan Desa Malango (60 KK/226 jiwa). Sementara itu, di Kecamatan Popayato, meskipun data masih dalam pendataan, desa yang terdampak meliputi Desa Popayato dan Desa Bukit Tingki. Hingga saat ini, belum ada laporan korban jiwa, baik yang meninggal maupun yang luka-luka.
Syahril menegaskan bahwa aparat penegak hukum harus segera mengambil tindakan tegas terhadap para mafia PETI yang beroperasi di Kabupaten Pohuwato. Tanpa penindakan yang serius, kerusakan lingkungan di Popayato akan semakin parah, dan masyarakat akan terus menjadi korban setiap kali hujan deras datang.
“Kerusakan yang terjadi bukan tanpa sebab. Ini adalah akibat ulah manusia, terutama mafia PETI yang terus beroperasi tanpa kontrol. Jika kita tidak bersatu menjaga lingkungan Popayato, masa depan wilayah ini akan semakin suram,” ujarnya.
Syahril juga mengingatkan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk segera mengambil langkah konkret sesuai dengan undang-undang yang berlaku. “Jika tidak ada tindakan nyata, keberadaan pemerintah dan penegak hukum akan dipertanyakan oleh masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan,” katanya dengan nada serius.
Ia juga menegaskan bahwa bencana banjir yang terjadi bukanlah kejadian yang tiba-tiba. Hutan yang seharusnya dapat menyerap air kini semakin berkurang akibat aktivitas PETI yang masif. “Namun hingga kini, para pelaku PETI masih dibiarkan beroperasi tanpa hambatan,” tambah Syahril.
Ia menekankan bahwa sudah saatnya masyarakat bergerak melawan segala bentuk perusakan lingkungan. Jika tidak ada tindakan nyata dari pemerintah dan aparat penegak hukum, masyarakat akan terus hidup dalam penderitaan akibat keserakahan segelintir pihak yang mengabaikan dampak lingkungan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Jika dibiarkan, masyarakat Popayato akan terus menjadi korban dari kepentingan segelintir orang yang hanya mencari keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya,” tegas Syahril menutup pernyataannya.