Hibata.id – Masyarakat Bone Bolango (Bonebol), Provinsi Gorontalo, dikenal sejak lama memiliki keterampilan menganyam yang menghasilkan berbagai produk fungsional.
Di antara hasil kerajinan tersebut adalah upiah karanji (songkok), lubungo (wadah telur ayam), hingga amongo atau tikar tradisional yang terbuat dari tumbuhan rawa.
Namun, seiring perkembangan zaman, anyaman tradisional khas Gorontalo itu mulai ditinggalkan. Produk modern seperti karpet dan alas buatan pabrik kini lebih diminati masyarakat.
“Dulu saya menganyam setiap minggu dan menjual ke pasar. Tapi sekarang tidak ada lagi yang membeli alas tradisional ini,” ujar Ratna Abdullah, salah satu pengrajin tiohu di Bonebol, saat ditemui di kediamannya.
Menurut Ratna, bahan baku anyaman yang berasal dari tanaman ekor kucing (Typha latifolia) atau dikenal sebagai peya-peya kini sulit ditemukan.
Tanaman yang tumbuh di daerah rawa ini dulunya banyak dijumpai di tepian Danau Limboto, salah satu danau terbesar di Gorontalo.
“Biasanya bahan itu dijual di pasar mingguan, tapi sekarang sudah jarang ada,” katanya.
Fenomena hilangnya anyaman khas Gorontalo itu mendapat perhatian dari pemerhati kerajinan tradisional, Ranto. Ia menilai, anyaman lokal seperti amongo merupakan identitas budaya masyarakat Bonebol yang harus dilestarikan.
“Kami sedang mencari cara agar kerajinan ini kembali berkembang. Ini bukan hanya soal budaya, tapi juga peluang ekonomi bagi masyarakat,” kata Ranto.
Ia menambahkan, jika dikelola dengan baik, anyaman tradisional bisa menjadi produk unggulan dalam sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Souvenir dari anyaman ini bisa jadi oleh-oleh khas Gorontalo. Bahkan bisa bernilai jual tinggi jika dikemas modern,” ujarnya.
Ranto berharap, generasi muda Bonebol tertarik untuk mempelajari kembali seni menganyam dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup serta peluang usaha.