Eksisten Kelompok Belajar ini, katanya, pada awalnya belum memperhatikan pemenuhan persyaratan seperti kualifikasi tutor, standar sarana prasarana pendidikan dan kebutuhan utilitas lainnya seperti listrik, air dan sebagainya.
Baca Juga: Tips Sehat Agar Terhindari dari Peyakit Diabetes
Namun demikian hadirnya Kelompok Belajar ini di antara sekitar tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 tidak sepenuhnya dapat disalahkan, sebab peraturan perundangan juga mengakuinya sebagai lembaga penyelenggara pendidikan nonformal seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991.
Lukman bilang, di wilayah pelosok pedesaan, pegunungan dan wilayah pesisir pantai bisa dijumpai Kelompok-kelompok Belajar yang hanya menempati gubuk rewot, balai desa, sanggar tani/nelayan, dan rumah-rumah penduduk yang jauh dari syarat kelayakan.
“Kondisi ini tidak mengherankan karena kebijakan pendidikan saat itu masih seperti itu adanya,” ungkapnya
Baca juga: Jelang Idul Adha, Harga Bahan Pokok di Gorontalo Melonjak Drastis
Menurutnya, pemerintah saat itu lebih tertuju kepada upaya menekan angka putus sekolah dengan membangun kesadaran masyarakat untuk dapat menjangkau layanan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Anggaran juga masih ada keterbatasan.
Lukman bercerita, PKBM bermula dari Kelompok Belajar sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991.
Kemudian di sekitar tahun 1998, Direktorat Jenderal Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Luar Sekolah membuat sebuah kebijakan rintisan lembaga pendidikan nonformal dengan mendorong semua Kelompok Belajar yang berkembang di masyarakat dikembangkan menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat yang sekarang dikenal dengan nama PKBM.
Baca Juga: Cerita Pedagang Roti Bakar Bandung di Gorontalo, Berjuang Demi Hidup Orang Tua
Oleh karena itu, kata Lukman, rujukan awal pembentukan PKBM mengacu kepada PP No, 73 Tahun 1991 dan kebijakan rintisan lembaga pendidikan nonformal.
Baca halaman berikutnya…