Hibata.id – Presiden Direktur PT Graha Ismaya, Masrizal A. Syarief, mengungkapkan perkembangan pesat industri alat kesehatan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pandemi COVID-19.
Ia menggambarkan industri tersebut sebagai “bayi yang baru lahir” yang kini tumbuh menjadi kekuatan strategis nasional.
“Industri alat kesehatan kita ibarat bayi yang baru lahir saat pandemi. Sebelumnya hanya ada sekitar 200 perusahaan, sekarang sudah berkembang menjadi lebih dari 800,” ujar Masrizal dalam acara KAGAMA Leaders Forum – Trump Effect, Rabu (14/5/2025), sebagaimana disampaikan melalui kanal YouTube Info KAGAMA.
Masrizal menuturkan bahwa sebelum pandemi, Indonesia masih mengandalkan impor hingga 90 persen dari kebutuhan alat kesehatan.
Namun, setelah pemerintah menerapkan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), sektor ini mulai mandiri dengan mampu melakukan substitusi impor hingga 50 persen, terutama untuk produk berteknologi rendah hingga menengah.
“Ke depan, kita harus bergerak ke teknologi menengah ke tinggi. Ini momentum penting untuk kemandirian industri kesehatan nasional,” jelasnya.
Namun, di tengah optimisme tersebut, Masrizal menyampaikan kekhawatiran terhadap dinamika perdagangan global, khususnya dampak kebijakan Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump. Ia menyebut bahwa pelaku industri sempat khawatir jika pemerintah Indonesia mengakomodasi permintaan penghapusan aturan TKDN.
“Saat isu itu muncul, banyak pelaku industri merasa cemas. Karena jika TKDN dibatalkan, industri ini seperti bayi yang baru belajar jalan lalu langsung disetop,” tegasnya.
Sebelumnya, pasar global sempat diguncang oleh kebijakan tarif baru Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump, termasuk penangguhan tarif lebih dari 100 persen terhadap produk asal China selama 90 hari.
Beberapa negara mitra, termasuk Indonesia, tengah melakukan pendekatan diplomatik untuk merespons kebijakan tersebut.
Menanggapi dinamika ini, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menyarankan agar Indonesia menjadikan momen ini sebagai evaluasi kebijakan perdagangan nasional. Ia menyoroti pentingnya kebijakan yang berpihak pada konsumen dan keberlanjutan industri lokal.
“Kuota impor, misalnya, menjadi kebijakan yang cenderung merugikan konsumen karena keuntungan justru dinikmati pemegang lisensi impor, bukan negara,” ujar Fithra dalam diskusi virtual bersama Center for Indonesian Policy Studies.
Fithra menekankan perlunya strategi perdagangan yang berpihak pada pembangunan industri domestik tanpa mengorbankan efisiensi pasar dan kesejahteraan konsumen.