Hibata.id – Harapan warga Pulau Muna dan Buton untuk memiliki jembatan penghubung kini menemui titik terang. Jembatan Tona, yang digadang-gadang menjadi penghubung strategis dua pulau kembar di Provinsi Sulawesi Tenggara, dijadwalkan mulai dibangun pada awal 2026.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan bahwa seluruh proses teknis proyek infrastruktur tersebut ditargetkan rampung pada 2025.
“Harapan kami seluruh masalah teknis selesai tahun ini, sehingga konstruksi awal bisa dieksekusi pada awal 2026,” kata Menteri PUPR RI, Dody Hanggodo, saat meninjau lokasi rencana pembangunan jembatan di Kecamatan Lea-Lea, Kota Baubau, Minggu (13/7/2025).
Pembangunan Jembatan Tona sebenarnya telah diwacanakan sejak 2010, namun kerap terkendala aspek teknis dan anggaran. Kini, berkat dorongan anggota DPR RI Ridwan Bae dan Gubernur Sulawesi Tenggara Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka, proyek strategis nasional ini resmi masuk tahap finalisasi perencanaan.
Warisan Peradaban dan Harapan Masa Depan
Bupati Buton Tengah (Buteng), Dr Azhari, menyebut pembangunan jembatan ini sebagai legacy atau warisan monumental bagi masyarakat Buton dan Muna. Menurutnya, proyek ini akan membawa perubahan besar dalam sinergi pembangunan dua pulau bersejarah tersebut.
“Kalau jembatan ini dibangun sekarang, maka itu akan menjadi warisan berharga di era kepemimpinan Gubernur Andi Sumangerukka,” ujar Dr Azhari melalui unggahan di akun media sosial pribadinya.
Ia juga menyebutkan bahwa dalam audiensinya dengan Menteri PUPR, dirinya hanya meminta dua hal utama: pembangunan Jembatan Buton-Muna dan pemanfaatan Aspal Buton sebagai komoditas unggulan nasional.
Dari Konektivitas Menuju Transformasi Ekonomi
Dr Azhari menilai kehadiran Jembatan Tona bukan hanya soal konektivitas, melainkan juga langkah strategis dalam membuka akses ekonomi dan budaya. Menurutnya, mobilitas orang dan barang antar-pulau akan lebih efisien, sehingga potensi sumber daya alam dan budaya di kedua wilayah semakin mudah dieksplorasi.

“Dengan jembatan ini, warisan budaya, kekayaan alam, dan kecerdasan masyarakat kita dapat semakin diangkat ke permukaan,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana ikan dan kelor—yang sejak dulu menjadi bagian dari konsumsi pokok masyarakat Muna dan Buton—kini justru diakui dunia sebagai sumber pangan bergizi tinggi.
“Kalau Jepang dikatakan cerdas karena makan ikan, maka kita di dua pulau ini sudah menjadikan ikan sebagai makanan pokok. Kelor pun tumbuh hampir di setiap pekarangan rumah warga desa sejak dulu,” tambahnya.
Dr Azhari berharap jembatan ini menjadi simbol pemersatu, bukan sekadar bangunan fisik semata. “Kita punya banyak alasan untuk maju bersama, dan sangat sedikit alasan untuk dibenturkan. Semoga Jembatan Tona menyatukan cita dan asa generasi hari ini dan masa depan,” tutupnya.