Penulis : Wardoyo Dingkol.S.I.Kom. M.I.Kom – (Pemerhati Demokrasi)
Tindakan DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pilkada 2024 adalah ilustrasi yang gamblang dari degradasi demokrasi di Indonesia, suatu ironi dalam sistem yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip checks and balances. Dalam perspektif komunikasi politik, ini menunjukkan bagaimana kekuasaan legislatif dapat disalahgunakan untuk mempertahankan status quo, sebuah langkah yang secara sarkastis dapat digambarkan sebagai upaya “begal konstitusi” yang terorganisir.
Baca Juga: Meneropong Gorontalo Pasca Pilkada 2024
kondisi ini tidak seperti yang dijelaskan oleh McNair (2011), dalam teori komunikasi politiknya yang menekankan bahwa demokrasi yang sehat memerlukan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik. Namun, ketika DPR memilih untuk mengabaikan putusan MK yang seharusnya mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah, mereka secara efektif melemahkan otoritas yudisial dan memperburuk persepsi publik terhadap integritas proses politik. Ini adalah contoh klasik bagaimana kekuasaan digunakan untuk menekan prinsip-prinsip dasar demokrasi demi keuntungan politik jangka pendek.
DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pilkada terutama putusan 60 dan 70, adalah contoh sempurna dari bagaimana elite politik dapat dengan lancang memainkan aturan sesuai keinginan mereka, seolah-olah konstitusi hanyalah selembar kertas yang bisa mereka lipat dan simpan di saku belakang, ini adalah bukti nyata bahwa ketika kepentingan pribadi dan kekuasaan menjadi prioritas, prinsip-prinsip dasar demokrasi hanya menjadi sekedar dekorasi belaka.
Baca Juga: Airlangga Hartarto Mundur, Bagaimana Golkar?
Mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat, kini tampak lebih peduli dengan melindungi kepentingan mereka sendiri daripada menjalankan amanat konstitusi yang telah dirumuskan dengan darah dan keringat para pendiri bangsa. Betapa ironisnya, dalam sistem yang seharusnya menempatkan supremasi hukum di atas segala-galanya, DPR justru mengambil jalan pintas yang berbahaya dengan mengabaikan putusan MK, suatu tindakan yang mengirimkan pesan bahwa hukum bisa dipermainkan, asalkan mereka memiliki kekuasaan yang cukup.
Menurut survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia, indeks persepsi korupsi DPR Indonesia terus memburuk, dengan skor turun menjadi 37 pada 2023, menandakan tingkat korupsi yang masih mengakar kuat di kalangan legislatif. Dalam konteks ini, langkah mereka mengabaikan putusan MK bisa dianggap sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan status quo yang korup, yang dengan sarkastis dapat kita sebut sebagai “demokrasi versi DPR” di mana aturan main ditentukan oleh mereka yang memegang kendali, bukan oleh hukum yang adil dan setara.
Baca Juga: Konflik Tanah di Morowali: IHIP Tindas Warga Desa Topogaro dan Tondo Bungku Bara
Kondisi ini lebih dari sekedar pelanggaran konstitusi, tindakan ini mencerminkan mentalitas otoriter yang menyamar dalam kedok demokrasi. Dengan kata lain, ketika MK, sebagai lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, diabaikan begitu saja, maka kita harus bertanya: apa arti dari demokrasi ini jika hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa untuk memanipulasi dan menindas?
Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa lebih dari 70% kandidat dalam Pilkada 2024 berasal dari partai-partai yang mendukung langkah DPR ini. Ini berarti, keputusan ini tidak hanya akan mempengaruhi hasil Pilkada, tetapi juga akan memperkuat cengkraman oligarki politik dalam sistem demokrasi Indonesia. Dengan kata lain, rakyat Indonesia tampaknya harus puas dengan “pilihan” yang sudah diatur dan dipoles sedemikian rupa untuk memastikan bahwa mereka yang sudah berkuasa tetap memegang kendali.
Mantan Ketua MK, Mahfud MD, pernah berujar bahwa “tanpa supremasi hukum, demokrasi hanyalah tirani mayoritas yang berkedok konsensus.” Dan itulah yang tampaknya kita saksikan saat ini—tirani mayoritas yang mengklaim legitimasi demokratis, padahal mereka sendiri yang merusak dasar-dasar hukum dan keadilan.
Dalam suasana seperti ini, di mana para legislator dengan terang-terangan mengabaikan putusan hukum tertinggi, kita tidak bisa tidak bertanya: apakah ini tanda-tanda kehancuran demokrasi, atau hanya sebuah episode dalam serial panjang korupsi yang sudah menjadi bagian dari DNA politik Indonesia? Yang jelas, dengan tindakan ini, DPR menunjukkan bahwa mereka lebih suka bermain-main dengan hukum daripada menghormatinya, sebuah parodi menyedihkan dari idealisme demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah.