Hibata.id – Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Anti Premanisme oleh Kepolisian Daerah (Polda) Gorontalo menuai kritik dari kalangan mahasiswa. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gorontalo dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Limboto menilai langkah tersebut hanya bersifat simbolik dan tidak menyentuh akar persoalan.
Dalam aksi mimbar bebas yang digelar di depan Kampus Universitas Gorontalo pada Sabtu (17/5/2025), para mahasiswa menyuarakan kekecewaan atas lambannya penanganan kasus penganiayaan terhadap aktivis yang hingga kini masih belum terungkap.
“Kami mengecam pembentukan Satgas Anti Premanisme oleh Polda Gorontalo. Ini hanya menjadi alat pencitraan dan tidak menyelesaikan persoalan mendasar,” tegas Presiden BEM Universitas Gorontalo, Erlin Adam, dalam orasinya.
Erlin menyebut serangkaian kekerasan yang menimpa aktivis mahasiswa—khususnya mereka yang vokal mengkritik aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI)—adalah bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
“Tindakan teror dan premanisme yang dialami teman-teman mahasiswa adalah bentuk intimidasi untuk membungkam kritik. Ini bukan sekadar kekerasan biasa, tapi ancaman terhadap demokrasi kampus,” ujarnya.
Ia juga menilai keberadaan Satgas Anti Premanisme belum menunjukkan hasil konkret. Hingga saat ini, pelaku kekerasan terhadap para aktivis belum satu pun berhasil diungkap atau ditangkap pihak kepolisian.
“Jika Satgas itu benar-benar bekerja, seharusnya ada perkembangan berarti dalam pengusutan kasus-kasus ini. Tapi kenyataannya, nihil. Ini hanya propaganda keamanan,” tambah Erlin.
Sebagai respons atas kinerja aparat yang dinilai tidak maksimal, Erlin menyerukan konsolidasi besar-besaran antarorganisasi mahasiswa, termasuk yang tergabung dalam Cipayung Plus, untuk menggelar aksi di Markas Polda Gorontalo.
“Kami akan menyusun aksi lanjutan yang lebih besar. Ini bentuk tekanan moral dan sosial agar aparat hukum tidak terus mengabaikan kasus-kasus teror terhadap aktivis,” tandasnya.
Diketahui, dalam beberapa bulan terakhir sejumlah aktivis mahasiswa di Gorontalo mengalami kekerasan fisik dari orang tak dikenal (OTK).
Para korban dikenal kritis terhadap aktivitas tambang ilegal, khususnya PETI dan penyelundupan batu hitam. Insiden terjadi di lokasi dan waktu berbeda. Namun hingga kini belum ada pelaku yang berhasil diidentifikasi, apalagi ditangkap.
Kondisi ini menimbulkan keresahan luas, tak hanya di kalangan mahasiswa tetapi juga masyarakat sipil yang menuntut kehadiran negara dalam menjamin keamanan dan kebebasan berekspresi.