Hibata.id – Tanggapan Yosar Ruiba Monoarfa, alias Oca, yang menyebut pengumpulan dana dari para pelaku usaha tambang di lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di lima kecamatan di Pohuwato sebagai bagian dari hilirisasi manfaat, mendapat kritik dari berbagai kalangan
Aktivis lingkungan, Fadli, salah satu yang mengkritik tanggapan tersebut, mengatakan bahwa apa yang disampaikan Oca justru terlihat seperti alibi untuk menutupi praktik tindakan yang sebenarnya.
Ibaratnya, kata Fadli, tidak ada maling yang mau mengaku sebagai maling. Mereka, katanya pasti akan mengeluarkan berbagai alibi untuk mengelabui atau melindungi diri, padahal kenyataannya mereka sudah tertangkap basah.
“Begitu juga dengan para pelaku praktik PETI. Tidak ada satupun dari mereka yang akan mengaku terlibat dalam praktik tersebut. Mereka pasti akan mengeluarkan berbagai alibi, padahal sudah sangat jelas bahwa melakukan praktik itu,” kata Fadli kepada Hibata.id melalui pesan tertulis.
Apalagi, kata Fadli, PETI apa lagi telah menggunakan alat berat jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya Pasal 158, yang menegaskan bahwa pertambangan tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara.
Artinya, kata Fadli, apapun alasan yang diberikan Oca, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan menurut hukum. Apalagi, tambahnya, uang yang diminta dari para pelaku usaha tambang diduga cukup besar, dan itu tidak masuk ke kas negara.
“Ini jelas-jelas melanggar, dan APH harus mengambil tindakan hukum berdasarkan pengakuan dari Oca. Uang yang diminta dari para pelaku penambang ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas, apalagi lokasi tambang tersebut berstatus ilegal. Ini bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli),” jelasnya.

Sebelumnya, Aktivitas PETI yang marak di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, diduga memiliki jaringan yang terorganisir, bahkan melibatkan pihak-pihak tertentu yang diduga berperan sebagai bekingan dari lembaga negara di Gorontalo.
Salah satu nama yang mencuat dalam kaitan ini adalah Yosar Ruiba Monoarfa, yang lebih dikenal dengan nama Oca. Namanya mencuat setelah akun TikTok dengan nama pengguna susupo_gorontalo mengunggah sebuah diagram konsorsium PETI yang beroperasi di Pohuwato.
Dalam diagram konsorsium, Oca yang merupakan warga Pohuwato yang disebut-sebut berperan sebagai koordinator lapangan untuk aktivitas PETI yang berlangsung di Kecamatan Paguat, Marisa, Patilanggio, Taluditi, dan Popayato Barat.
Dalam diagram tersebut, Oca diduga terlibat dalam pengumpulan uang yang disebut sebagai “atensi” atau uang keamanan dari para pelaku pertambangan yang menggunakan alat berat di lima kecamatan tersebut.
Kasus ini sebenarnya pernah ditulis Hibata.id pada awal Februari lalu. Adapun uang keamanan yang harus disetor oleh setiap pemilik alat berat mencapai Rp 50 juta. Oca diduga sebagai pihak yang mengumpulkan dana tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Oca juga diduga memiliki kaki tangan di lima kecamatan itu untuk mengumpulkan uang yang bisa disebut “Upeti” tersebut. Bahkan, ada oknum ASN bertugas di Dinas Perhubungan yang disinyalir jadi kaki tangan Oca.
Lebih jauh, dalam diagram konsorsium tersebut, Oca juga disebut berperan dalam mengatur seluruh proses penjualan emas yang dihasilkan oleh para penambang ilegal di lima kecamatan tersebut. Ironisnya, emas yang dijual oleh para penambang itu dibeli dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan harga pasar saat ini.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, harga beli emas dari penambang hanya sekitar Rp 700.000 hingga Rp 750.000 per gram, padahal harga emas saat ini mencapai Rp 1,6 juta per gram (per 21 Februari 2025).
Keberadaan Oca dalam konsorsium PETI ini semakin mempertegas dugaan adanya alur distribusi yang melibatkan pihak-pihak berpengaruh, sehingga memperkuat praktek pertambangan ilegal yang sudah berlangsung lama di wilayah tersebut.
Menanggapi itu, Yosar Ruiba Monoarfa alias Oca membantah semua tudingan yang dialamatkan kepadanya. Meski begitu, dirinya mengaku pengumpulan dana dari para penambang itu ada, tetapi hal tersebut untuk kepentingan program hilirisasi manfaat yang digagasnya sejak 2024.
Hilirisasi manfaat ini, kata Oca, berupa tanggung jawab non formal oleh rakyat yang berprofesi sebagai pelaku usaha tambang untuk masyarakat lingkar tambang. Seperti pemberian paket sembilan bahan pokok, pemberian bantuan pupuk pertanian.
Dana dari pelaku usaha rakyat penambang itulah yang, kata dia, sering kali disalahpahami sebagai upeti, pungli, atau hal-hal yang tidak jelas. Secara eksplisit, katanya, selama ini tidak ada pengumpulan dana gotong-royong yang bersifat terpaksa, baik dalam hal waktu maupun jumlah.
“Yang ada adalah penyadaran paksa dan pembinaan kepada mereka bahwa setiap masyarakat yang menambang di hulu seharusnya menyisihkan sebagian hasil penambangannya untuk urusan sosial dan lingkungan sampai IPR sudah resmi ada,” ucapnya.
Oca meluruskan informasi yang selama ini beredar mengenai dugaan bahwa uang dari para pelaku usaha mengalir secara bulanan ke oknum-oknum APH, oknum LSM, oknum wartawan, oknum aparat pemerintahan, dan sebagainya.
“Jika saya sebagai narasumber ditanya tentang informasi tersebut, saya akan jawab dengan tegas bahwa semua itu tidak benar,” tegasnya.
“Sebab, saya tegaskan lagi, pengumpulan dana tertentu dari para pelaku usaha tambang rakyat memang ada, namun peruntukannya murni untuk kegiatan sosial masyarakat di hilir, yang diserahkan baik dengan atau tanpa menggunakan proposal kegiatan tertentu,” sambungnya.
Ia juga membantah soal pengaturan seluruh proses penjualan emas dari pelaku usaha penambang yang dialamatkan kepada dirinya. Ia juga tidak membenarkan soal diagram konsorsium PETI Pohuwato yang viral di media sosial itu.
“Jika diperlukan, tolong sampaikan ke saya sumber informasi yang berkaitan dengan itu, karena sudah mencatut nama baik saya,” pungkasnya.