Hibata.id – Gelombang kekecewaan terhadap pembiaran aktivitas tambang emas ilegal di Kabupaten Pohuwato kini mencapai puncaknya. Aswad Lihawa, seorang aktivis muda dari Aliansi Pemuda Peduli Lingkungan (APPL), melontarkan pernyataan tegas yang mengguncang. Ia menyampaikan ultimatum terbuka kepada Kapolres Pohuwato, AKBP Busroni, yang dinilai gagal menegakkan hukum secara adil dan tegas.
Aswad memberikan tenggat waktu 100 hari kepada Kapolres sejak resmi menjabat. Jika dalam periode tersebut tak ada tindakan konkret terhadap para pelaku tambang ilegal, maka APPL akan membawa keranda mayat ke Mapolres Pohuwato—sebagai simbol matinya supremasi hukum di wilayah itu.
“Jika Kapolres hanya jadi bayang-bayang pendahulunya yang juga gagal bertindak, maka tunggu saja. Kami tidak butuh pemimpin yang hanya pintar berbicara di balik meja, tapi lumpuh di hadapan kejahatan. Dalam 100 hari, jika tak ada langkah nyata, kami akan bawakan keranda mayat ke Mapolres. Itu lambang bahwa hukum telah mati, dan polisi hanya jadi penonton,” tegas Aswad, penuh kemarahan.
Menurut Aswad, aktivitas tambang ilegal di Pohuwato kini bahkan dilakukan secara terang-terangan. Alat berat seperti excavator beroperasi bebas di siang hari tanpa rasa takut, seolah hukum tak lagi berlaku.
“Ini bukan lagi aktivitas gelap. Excavator bebas menari di tengah kerakusan manusia. Hutan dirusak, sungai diracuni, masa depan anak cucu kita dirampas. Sementara aparat, khususnya Polres Pohuwato, memilih menutup mata. Apa mereka buta? Tuli? Atau terlalu kenyang dengan pembiaran?” serunya lantang.
Aswad juga menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum. Ia menyebut bahwa penindakan hanya terjadi di daerah terpencil seperti Hulawa, sementara tambang ilegal di pusat kota dibiarkan bebas beroperasi.
“Ada pola pilih-pilih. Yang jauh dari perhatian, yang tak punya ‘orang dalam’, langsung ditindak. Tapi yang di pusat kota, yang jelas-jelas pakai excavator, malah dibiarkan. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang biadab. Hukum bukan barang dagangan,” tambahnya.
Ia bahkan merinci beberapa titik tambang ilegal yang aktif menggunakan alat berat, antara lain: Desa Popayato dan Karya Baru di Kecamatan Dengilo: Desa Poladingo dan Botudulanga, di Kecamatan Buntulia: Desa Teratai dan Bulangita di Kecamatan Marisa: dan Desa Balayo di Kecamatan Patilanggio.
“Bayangkan, dari sekian banyak tambang ilegal yang pakai excavator, kenapa hanya satu pelaku yang ditindak? Ini jelas tak masuk akal. Jangan sampai kami curiga bahwa Kapolres bukan hanya lambat, tapi takut menindak pelaku yang punya ‘bekingan’ kuat,” tegas Aswad.
Ia menyebut situasi ini sebagai bentuk pembiaran sistematis yang mencerminkan matinya supremasi hukum. Bahkan, ia menyampaikan “kabar duka” atas kondisi hukum di Pohuwato.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Saya harus umumkan kabar duka ini: hukum di Pohuwato telah wafat. Dibunuh oleh keserakahan, oleh pengkhianatan terhadap keadilan, dan oleh aparat yang lebih takut pada pelaku kejahatan daripada menjalankan sumpah jabatan mereka,” ujarnya lirih.
Sebagai penutup, Aswad menegaskan kembali bahwa peti mati akan dibawa ke Mapolres Pohuwato bila dalam 100 hari tak ada tindakan tegas terhadap tambang ilegal.
“Kami beri waktu 100 hari. Jika Kapolres tak mampu menindak tambang emas ilegal yang gunakan excavator, maka peti mati akan kami bawa. Bunga-bunga akan ditabur, sebagai simbol duka mendalam atas matinya hukum di Pohuwato,” pungkasnya.
Pernyataan ini menjadi tamparan keras bagi institusi kepolisian di Kabupaten Pohuwato. Masyarakat kini menanti: akankah Kapolres bertindak? Atau benarkah, simbol kematian hukum akan hadir dalam bentuk peti mati di depan Mapolres?.