Hibata.id – Raungan mesin ekskavator membelah siang dan malam Desa Bulangita, seolah mengukir ulang peta tanah kelahiran warga. Hanya sepelemparan batu dari pusat Kota Marisa, aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) berlangsung tanpa malu-malu. Kini, operasi ilegal itu bukan hanya sekadar melanggar hukum—ia telah menjelma menjadi kekuatan yang brutal dan nyaris tak tersentuh.
Pada Selasa, 22 April 2025, tim Hibata.id menyaksikan empat unit ekskavator bekerja nyaris tanpa henti. Tak lagi tersembunyi, mesin-mesin besi itu mengoyak bumi hanya beberapa meter dari pekarangan rumah warga. “Masih terus jalan, Pak. Itu suara mesin, tiap malam bikin saya susah tidur. Belum lagi yang di belakang sana,” kata seorang warga, yang rumahnya berdempetan dengan lokasi tambang.
Namun suara warga tak pernah sekeras deru ekskavator. Protes demi protes menguap begitu saja. Di desa ini, keluhan adalah komoditas yang tak laku. “Saya satu-satunya yang berani bicara. Warga lain takut. Nanti kalau sudah banjir baru mau bersuara,” ucapnya, getir.
Ia menduga, tambang ini bukan sekadar ilegal, tapi juga terlindungi. Bukan oleh hukum, melainkan oleh sistem bayangan yang bekerja diam-diam, namun efektif. “Itu alat berat, katanya harus bayar. Tiap unit. Ada yang atur semua ini,” ungkapnya.
Lebih jauh lagi, ia menuding ada keterlibatan oknum aparat. Setiap ekskavator yang masuk ke Bulangita, kata dia, harus membayar uang “atensi” kepada pihak tertentu. Praktik yang membuat tambang ilegal ini tampak legal, dan berjalan mulus meski terang-terangan melanggar hukum.
Pemerintah desa pun tak luput dari tuduhan. “Pejabat desa saja beli emas dari sana,” katanya singkat, menyiratkan dugaan keterlibatan lebih dalam.
Aktivitas PETI di Bulangita tampak berjalan sistematis dan terorganisir. Seolah ada struktur tak kasat mata yang mengatur ritmenya—dari siapa yang boleh masuk, berapa alat yang bisa dioperasikan, hingga siapa yang harus dibayar agar tetap bisa menggali.
Pada Jumat, 18 April lalu, satu ekskavator sempat diamankan oleh aparat. Namun langkah itu bukan lahir dari penegakan hukum yang tegak lurus. Menurut informasi yang dihimpun Hibata.id, pengamanan itu terjadi karena pemilik alat—berinisial A—gagal memenuhi “kewajiban informalnya”. Ia hanya membayar separuh dari uang atensi sebesar Rp100 juta untuk dua unit ekskavator.
Tak lama berselang, alat berat itu dilepaskan kembali. Dana kekurangan segera dibayarkan. Sistem pun kembali berjalan seperti biasa. Tanpa surat izin, tanpa pengawasan, tapi penuh perhitungan.
“Sudah kayak resmi saja. Padahal ilegal,” kata warga lain, menutup pembicaraan dengan nada putus asa.
Hingga berita ini diturunkan, Kapolres Pohuwato AKBP Busroni dan Kapolsek Marisa Iptu Robby Andri Ansyari belum merespons permintaan konfirmasi dari Hibata.id. Sunyi dari otoritas, nyaring dari mesin tambang, Bulangita terus digerus—tak hanya tanahnya, tapi juga kepercayaan pada negara.