Lingkungan

Puting Beliung Terjang Gorontalo, WALHI Desak Evaluasi Izin Tambang dan Perkebunan Sawit

×

Puting Beliung Terjang Gorontalo, WALHI Desak Evaluasi Izin Tambang dan Perkebunan Sawit

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi - Puting Beliung Terjang Gorontalo (Ai)/Hibata.id
Ilustrasi - Puting Beliung Terjang Gorontalo (Ai)/Hibata.id

Hibata.id – Bencana angin puting beliung yang melanda tiga desa di Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo,  5 Mei 2025, merusak sedikitnya 93 rumah bahkan mengganggu infrastruktur publik. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 248 warga terdampak akibat bencana ini.

Angin puting beliung terjadi akibat pertemuan massa udara naik dan turun dalam awan kumulonimbus, yang kerap muncul saat cuaca ekstrem.

Scroll untuk baca berita

Menurut WALHI Gorontalo, bencana hidrometeorologi seperti ini merupakan dampak nyata dari krisis iklim global yang diperparah oleh buruknya tata kelola lingkungan di tingkat lokal.

Baca Juga:  Mengenal Yaki dan Populasinya di Sulawesi Utara

“Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi akibat langsung dari degradasi lingkungan yang masif,” ujar Defri Sofyan, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Gorontalo.

Dalam kurun waktu 2017–2021, data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan Gorontalo kehilangan 33.492 hektare tutupan hutan. Sebanyak 85 persen deforestasi tersebut disebabkan oleh aktivitas tambang, sementara 15 persen oleh ekspansi perkebunan sawit.

Laporan Global Forest Watch mengungkapkan bahwa sejak tahun 2001 hingga 2023, Gorontalo telah kehilangan 139.889 hektare tutupan pohon yang berkontribusi terhadap pelepasan 95,6 juta ton emisi karbon ke atmosfer.

Selain kehilangan hutan, konversi lahan basah menjadi permukiman juga memperparah krisis lingkungan. Hilangnya ekosistem alami menyebabkan gangguan serius pada siklus hidrometeorologi dan meningkatnya frekuensi bencana iklim seperti banjir, longsor, dan kekeringan.

Baca Juga:  Aktivitas PETI di Pohuwato Disinyalir Terorganisir, Dibekingi Konsorsium?

“Tragisnya, justru pemerintah memberikan izin usaha kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif. Rakyat Gorontalo seakan sudah jatuh tertimpa tangga. Mereka kehilangan ruang hidup sekaligus harus menanggung dampaknya,” ujar Defri.

Selama periode 2018–2023, BNPB mencatat 172 kejadian bencana ekologis di Provinsi Gorontalo, atau rata-rata 10 kejadian per tahun. WALHI Gorontalo memperingatkan bahwa angka tersebut dapat meningkat jika kerusakan lingkungan terus berlangsung.

Atas kondisi ini, WALHI Gorontalo mendesak pemerintah untuk:

  1. Mereformasi tata kelola lingkungan termasuk meninjau kembali pemberian izin usaha dan RTRW provinsi dan k
  2. Mencabut izin yang terbukti secara hukum menyebabkan kerusakan lingkungan.
  3. Menghentikan pemberian izin baru hingga ada kebijakan tata ruang yang berbasis pada mitigasi risiko iklim.
  4. Mengalokasikan anggaran untuk program ketahanan masyarakat dari risiko bencana iklim.
Baca Juga:  PETI Popayato Picu Krisis Air Bersih, Pemda dan APH Diminta Jangan Tutup Mata

WALHI menegaskan pentingnya reformasi tata kelola lingkungan di Gorontalo agar bencana serupa tidak terus berulang dan merugikan masyarakat secara sosial maupun ekonomi.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600