Scroll untuk baca berita
Hukum

Gakkum Lempar Tanggung Jawab Soal Excavator di Kawasan Hutan PETI Balayo, Mau Cuci Tangan?

×

Gakkum Lempar Tanggung Jawab Soal Excavator di Kawasan Hutan PETI Balayo, Mau Cuci Tangan?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi alat berat di Tambang Ilegal/Hibata.id
Ilustrasi alat berat di Tambang Ilegal/Hibata.id

Hibata.id – Penanganan kasus ekskavator yang ditemukan di lokasi pertambangan emas tanpa izin (PETI) dalam kawasan hutan Desa Balayo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kini memasuki babak membingungkan. Bukannya memperjelas arah penegakan hukum, pihak Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi justru saling lempar tanggung jawab.

Rosman Mantu, dari Balai Gakkum Wilayah Sulawesi III, saat dikonfirmasi wartawan Hibata.id pada Senin, 30 Juni 2025, tak memberikan keterangan substantif terkait status alat berat yang sebelumnya telah dilaporkan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Pohuwato.

Scroll untuk baca berita

“Maaf yaa, kalau ada aduan soal gangguan kawasan hutan silakan datang langsung ke kantor,” ujar Rosman singkat. Ketika ditanya lebih lanjut soal excavator yang disebut-sebut telah dilimpahkan ke Gakkum, ia justru menyarankan agar wartawan menanyakan ke KPH.

Baca Juga:  Haris dan Fathia Lolos dari Jeratan Hukum Pencemaran Nama Luhut Binsar Pandjaitan

“Silakan dikonfirmasi ke KPH saja,” jawabnya, tanpa memberikan kejelasan apakah pihaknya telah menerima atau menangani kasus tersebut.

Lebih lanjut, ketika diminta memperjelas tanggung jawab lembaganya dalam kasus ini, Rosman justru mengarahkan ke “Gakkum yang lain”, tanpa menyebut unit atau nama pejabat yang dimaksud.

Respons yang terkesan “cuci tangan” ini menambah panjang daftar kebingungan publik soal siapa sesungguhnya yang berwenang menangani kasus tambang ilegal yang merambah kawasan hutan produksi terbatas (HPT) di Pohuwato.

Padahal, satu unit ekskavator telah ditemukan oleh KPH di kawasan PETI Balayo. Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat KPH Wilayah III, Jemie Peleng, membenarkan bahwa ekskavator itu berada di dalam kawasan hutan.

Baca Juga:  Dugaan Bekingan Miras di Bonebol, Kapolda Diminta Turun Tangan

“Yang kami temukan satu unit di dalam kawasan. Di luar kawasan, ada beberapa yang masih aktif, tapi itu bukan kewenangan kami,” ujar Jemie, pertengahan Juni lalu.

Namun saat tim KPH mendekat, operator ekskavator kabur dan hingga kini belum ditemukan. Pihak KPH sempat menyatakan akan melaporkan penemuan itu ke Gakkum KLHK.

Kebuntuan komunikasi antarlembaga ini kembali menampar wajah penegakan hukum di sektor lingkungan dan kehutanan. Di satu sisi, kerusakan ekologis terus berlangsung. Sungai tercemar, hutan digunduli, dan lubang-lubang tambang makin meluas. Di sisi lain, aparat sibuk berbicara soal batas kewenangan.

Baca Juga:  Aktivis Harap Kapolda Gorontalo yang Baru Bisa Tindaki PETI Pohuwato

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jelas menyatakan bahwa aktivitas tambang tanpa izin merupakan tindak pidana, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda hingga Rp 100 miliar.

Namun hukum yang semestinya tajam justru tumpul di lapangan. Alih-alih respons cepat dan sigap, yang terlihat justru sikap saling lempar tanggung jawab, nyaris tanpa koordinasi.

Hingga laporan ini diterbitkan, aktivitas tambang emas ilegal di Balayo masih terus berlangsung. Publik pun bertanya: siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab menindak pelaku PETI? Dan di mana peran negara dalam menjaga kelestarian hutan?.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600