Hibata.id — Di antara rimbun hutan dan riuh air sungai yang kini keruh, Popayato kembali menangis. Bukan hanya karena banjir bandang yang baru saja menyapu pemukiman, tapi juga karena dentuman senyap dari mesin-mesin berat yang terus menggali isi perut bumi.
Meski aparat penegak hukum kerap mengklaim telah melakukan penertiban, kenyataan di lapangan jauh dari kesan “tertib.” Pasalnya, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Popayato ini masih terus beroperasi hingga saat ini.
Syahril Razak, Koordinator Aliansi Masyarakat Melawan (AMM) mengaku sangat kecewa dengan situasi tersebut. Apalagi, katanya, pemerintah daerah dan penegak hukum justru terlihat bungkam—seolah berubah menjadi penonton dalam pertunjukan tambang ilegal yang beringas ini.
“Ini bukan lagi soal hukum semata. Ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat,” ujar Syahril Razak, sambil menambahkan, PETI di Popayato telah berubah menjadi mesin perusak massal yang menggerus tidak hanya tanah, tapi juga hak hidup manusia.
Syahril menyebut operasi penertiban yang selama ini dilakukan aparat hanyalah formalitas. Menurutnya, pelaku tambang ilegal tetap beroperasi dengan leluasa. Bahkan, setelah Popayato dilanda krisis air bersih pasca-banjir bandang, aktivitas tambang justru semakin brutal.
“Operasi hanya kosmetik. Mafia tambang tetap menggila. Ini bukan pelanggaran biasa, ini genosida ekologis!” kata Syahril dengan nada tinggi.
Ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat PETI kini telah masuk pada fase kritis. Sungai-sungai tercemar, hutan digunduli, dan sumber air warga berubah menjadi lumpur beracun.
“Negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya: menjamin hak atas lingkungan yang sehat dan air bersih,” ucapnya.
Lebih jauh, Syahril menyoroti dugaan adanya kolusi antara pelaku tambang dan aparat. Ia mempertanyakan diamnya institusi hukum dan lemahnya sikap pemerintah daerah. “Apakah aparat takut? Atau justru ikut menikmati hasilnya? Rakyat tidak sebodoh itu!” serunya.
Ia menyebut, apa yang terjadi saat ini adalah bentuk nyata dari pembiaran sistematis oleh negara terhadap kejahatan lingkungan.
Tak hanya aparat, Syahril juga mengecam Pemerintah Kabupaten Pohuwato yang dinilai menutup mata terhadap kehancuran ekologis yang terus berlangsung. Krisis air bersih yang kini melanda Popayato, katanya, adalah hasil dari pembiaran yang disengaja.
“Ke mana Pemda selama ini? Mereka seolah lebih buta dari hukum. Atau jangan-jangan memang pura-pura tidak tahu?” ujar Syahril, mengangkat alis.
Ia mendesak tindakan konkret: aparat penegak hukum harus segera menghentikan seluruh aktivitas PETI tanpa tebang pilih, dan pemerintah daerah diminta bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan serta segera menangani krisis air yang melumpuhkan kehidupan warga.
Syahril menyerukan konsolidasi perlawanan rakyat. “Popayato berdarah. Dan mereka yang memilih diam adalah bagian dari kejahatan itu sendiri,” pungkasnya.