Oleh: Mansur Martam – Penyuluh Agama Islam Boalemo
Opini – Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi khas dalam menyambut dan menjalani bulan suci Ramadan. Salah satu tradisi unik yang berkembang di Gorontalo adalah Malam Qunut, sebuah perayaan yang bukan hanya menjadi ajang kebersamaan, tetapi juga simbol rasa syukur atas setengah perjalanan bulan puasa.
Lebih dari sekadar perayaan budaya, Malam Qunut mengandung makna spiritual yang dalam. Jika ditelaah lebih jauh, tradisi ini memiliki keselarasan dengan ajaran tasawuf atau sufisme dalam Islam, yang menekankan kebersamaan, kesederhanaan, dan refleksi diri dalam perjalanan menuju Allah.
Merayakan Malam Qunut dengan Pisang dan Kacang
Setiap tanggal 15 Ramadan, masyarakat Gorontalo berkumpul setelah salat tarawih untuk menikmati pisang dan kacang bersama-sama. Tradisi ini dikenal luas di beberapa wilayah, seperti Batudaa dan Tabongo, dengan sebutan Monga Kaca Wawu Lutu (makan pisang dan kacang).
Di Lapangan Porbat, Desa Payunga, Kecamatan Batudaa, suasana berubah menjadi meriah layaknya pasar malam. Pedagang menjajakan pisang dan kacang dalam berbagai jenis, sementara warga dari berbagai desa datang untuk berburu makanan khas Malam Qunut. Di Kecamatan Tabongo, tradisi ini bahkan berkembang menjadi festival budaya, menarik perhatian pengunjung dari luar daerah, termasuk non-Muslim yang turut menikmati kebersamaan ini.
Makna dan Sejarah Malam Qunut
Tradisi Malam Qunut memiliki sejarah unik yang berakar dari kebiasaan masyarakat pegunungan. Dahulu, mereka turun ke pemukiman untuk mengisi bak air masjid, dan sebagai bentuk terima kasih, mereka diberi upah. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membeli pisang dan kacang sebagai oleh-oleh bagi keluarga.
Seiring waktu, kebiasaan ini berkembang menjadi perayaan tahunan yang sarat nilai kebersamaan, kepedulian sosial, dan rasa syukur. Bagi masyarakat Gorontalo, Malam Qunut bukan hanya ajang silaturahmi, tetapi juga simbol keberkahan dan doa agar ibadah puasa dapat dijalani dengan baik hingga akhir Ramadan.
Makna Sufistik dalam Malam Qunut
Dalam ajaran tasawuf, setiap ritual dan tradisi Islam memiliki makna batiniah yang lebih dalam. Malam Qunut dapat ditafsirkan sebagai bagian dari perjalanan spiritual menuju kesempurnaan, sejalan dengan konsep maqamat (tahapan perjalanan ruhani) dalam sufisme.
- Pisang dan Kacang: Simbol Kesederhanaan dan Kearifan
Dalam tradisi sufi, kehidupan sederhana dan penuh kesabaran adalah kunci menuju kedekatan dengan Allah. Pisang dan kacang yang menjadi makanan utama dalam perayaan ini mencerminkan nilai qana’ah (rasa cukup) dan syukur, dua prinsip utama dalam tasawuf.
- Perayaan di Pertengahan Ramadan: Refleksi Batin
Malam Qunut dirayakan di tengah bulan Ramadan, yang dalam tasawuf dapat diartikan sebagai maqam muhasabah—momen introspeksi diri. Seorang sufi selalu melakukan evaluasi diri, sebagaimana umat Islam di Gorontalo merenungkan ibadah yang telah dijalankan dan berupaya memperbaiki kekurangan di hari-hari selanjutnya.
- Kebersamaan: Cerminan Ukhuwah dan Kasih Sayang Ilahi
Tasawuf mengajarkan bahwa cinta dan kasih sayang adalah jalan menuju Tuhan (mahabbah). Malam Qunut menjadi simbol persaudaraan, di mana masyarakat berkumpul, berbagi makanan, dan merasakan kebersamaan. Ini mencerminkan konsep ukhuwah Islamiyah, yang dalam tasawuf diartikan sebagai cinta kepada sesama makhluk Allah sebagai refleksi cinta kepada-Nya.
- Pasar Malam: Simbol Fana (Kesementaraan) dan Baqa (Keabadian)
Kemeriahan pasar malam saat Malam Qunut mengingatkan pada konsep dunia yang fana. Dalam sufisme, dunia ini hanyalah persinggahan sementara (dunya mazra’atul akhirah—dunia adalah ladang untuk akhirat). Tradisi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada kemeriahan duniawi, tetapi dalam rasa syukur, kebersamaan, dan keberkahan Ramadan.
Menjaga Tradisi di Era Modern
Di tengah arus modernisasi, mempertahankan tradisi seperti Malam Qunut menjadi tantangan tersendiri. Namun, masyarakat Gorontalo tetap berusaha menjaga warisan budaya ini. Panitia penyelenggara terus mengembangkan acara dengan menambahkan kegiatan keagamaan dan budaya, agar nilai-nilai Islam tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi generasi muda, Malam Qunut juga menjadi kesempatan untuk mengenal lebih dalam adat dan budaya leluhur. Festival dan kegiatan berbasis komunitas semakin memperkuat eksistensi tradisi ini, membuktikan bahwa Malam Qunut tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sesuai zaman.
Inspirasi dari Malam Qunut
Malam Qunut mengajarkan kita bahwa kebersamaan dan rasa syukur adalah elemen penting dalam menjalani kehidupan. Di tengah kesibukan dunia modern, kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan merayakan momen sederhana yang penuh makna.
Dari perspektif sufisme, Malam Qunut juga mengingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar materi, tetapi juga tentang perjalanan menuju Tuhan dengan hati yang penuh cinta, syukur, dan kesederhanaan.
Bagi masyarakat di luar Gorontalo, Malam Qunut bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan tradisi serupa—momen berbagi dan mempererat hubungan keluarga serta komunitas di bulan Ramadan. Pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukan diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa dalam kita bisa berbagi dan mensyukuri setiap anugerah yang ada.
Dengan memahami dimensi sufistik dalam Malam Qunut, kita dapat melihat bahwa tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga jalan menuju pencerahan spiritual, yang mengajarkan makna sejati dari Ramadan, syukur, dan kebersamaan dalam kehidupan.