Hibata.id – Di tengah lalu lintas udara yang tampak biasa saja di Bandara Djalaluddin, Gorontalo, ada cerita lain yang sedang bergulir di balik layar. Bukan soal jadwal penerbangan atau keterlambatan pesawat. Ini tentang emas—logam mulia dari tambang rakyat yang diduga mengalir secara ilegal lewat jalur udara. Dan sejauh ini, pihak bandara memilih diam.
Isu ini meledak usai sebuah unggahan akun TikTok bernama susupo_gorontalo menyebar di media sosial. Unggahan itu menampilkan diagram konsorsium pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato. Diagram itu bukan sekadar sketsa organisasi liar. Ia menguraikan dugaan alur emas ilegal dari tanah ke langit, melibatkan nama-nama, lokasi, hingga aparat.
Salah satu simpul utama dalam alur tersebut adalah Bandara Djalaluddin Gorontalo. Emas disebut diduga diselundupkan melalui bandara itu setelah dibeli oleh investor. Tak berhenti di situ, nama Kapolsek Bandara IPTU Ismet Ishak turut disebut dalam diagram. Ia diduga membantu meloloskan logam mulia itu keluar Gorontalo tanpa jejak.
Namun, ketika dimintai konfirmasi, para pejabat di lingkungan bandara seolah kompak mengunci mulut. Kepala Seksi Keamanan Penerbangan Hirson Ronni Biki tidak menjawab pertanyaan yang dikirim lewat WhatsApp, meski sudah terbaca.
Dody Mano, Kasubbag Keuangan dan Tata Usaha Bandara, hanya menyarankan agar konfirmasi diarahkan kepada IPTU Ismet Ishak. “Bapak tanya sama Kapolsek saja di situ yang disinggung pak. Silahkan konfirmasi dengan yang dituduh pak,” katanya singkat.
Kapolsek Ismet sendiri tak merespons ketika dihubungi melalui pesan WhatsApp. Pesan demi pesan dari Hibata.id hanya centang biru—dibaca, tapi tak pernah dibalas. Alhasil, hingga berita ini terbit, tak ada tanggapan darinya.
Di sisi lain, diagram yang viral itu memetakan konsorsium PETI secara terstruktur. Dari penambangan, pengumpulan uang keamanan, pembelian emas, hingga penyelundupan.
Sekitar 14 orang disebut terlibat, termasuk seorang residivis pertambangan ilegal yang kini diduga menjadi koordinator lapangan di lima kecamatan: Paguat, Marisa, Patilanggio, Taluditi, dan Popayato Barat.
Model bisnisnya juga rapi. Para penambang disebut wajib membayar “uang keamanan” sebesar Rp 50 juta per alat berat setiap bulan. Uang itu disetor ke ajudan seorang petinggi lembaga negara yang diduga ikut dalam jejaring.
Dari sana, emas dibeli dengan harga jauh di bawah pasar—sekitar Rp 700.000 hingga Rp 750.000 per gram. Bandingkan dengan harga emas nasional per 22 Maret 2025 yang menembus Rp 1,7 juta per gram.
Logam mulia itu lalu dikumpulkan oleh salah satu oknum dari lembaga pengawasan daerah, sebelum dijual kembali ke investor. Titik akhir distribusi emas itu? Lagi-lagi, diduga Bandara Djalaluddin Gorontalo.
Ironisnya, dalam diagram tersebut, peran aparat justru menjadi simpul penting kelancaran distribusi. Nama IPTU Ismet Ishak, diduga dan dituding sebagai pelindung jalur emas ilegal yang terbang keluar Gorontalo.
Belum ada klarifikasi resmi. Yang ada hanya keheningan. Pihak bandara diam. Kepolisian setempat pun tak bersuara. Sementara emas, konon, terus mengalir keluar wilayah—tanpa izin, tanpa suara, tanpa jejak hukum yang jelas.