Hibata.id – Teka-teki di balik pemindahan dua kuburan di Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, mulai menemukan titik terang. Dugaan bahwa langkah itu dilakukan demi aktivitas tambang emas ilegal—atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI)—kian menguat dan nyaris tak terbantahkan.
Pasalnya, berdasarkan penelusuran Hibata.id pada Senin (21/04/2025) menemukan, lahan bekas dua kuburan itu kini dieksploitasi lebih dari satu ekskavator. Alat berat itu beroperasi terang-terangan, menyibak bumi tanpa malu, mengejar kilau emas tanpa izin.
Sebelumnya, pada awal April lalu, para pelaku tambang ilegal tidak ragu untuk menggali kuburan demi mencari emas yang tersembunyi di bawah tanah. Menurut penjelasan warga sekitar, ada dua kuburan yang terpaksa digali oleh para pelaku PETI. Mereka memberikan uang kepada orang yang mau memindahkan makam tersebut.
“Setiap kuburan dibayar sekitar Rp 1,75 juta, sehingga totalnya sekitar Rp 3,5 juta untuk kedua kuburan tersebut,” ujar salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Setelan pembayaran dilakukan, kata dia, dua kuburan itu langsung dipindahkan dari lokasi tersebut, ke tempat yang tidak terindikasi memiliki kandungan emas. Praktik pemindahan makam demi tambang ini menggambarkan betapa segala hal bisa dikorbankan demi keuntungan—bahkan kesucian liang lahat.
Ironi bertambah ketika penegak hukum seolah kehilangan suara. Saat dikonfirmasi, Kapolsek Patilanggio, IPDA Yudi Srita Salim, memilih diam. Lebih jauh, ia memblokir nomor jurnalis Hibata.id. Tindakan itu menimbulkan pertanyaan besar: kenapa aparat justru menghindar?
Diamnya polisi menjadi semacam konfirmasi tak langsung. Bahwa mungkin ada pembiaran. Bahwa aktivitas tambang emas ilegal itu tidak hanya berjalan tanpa izin, tapi juga mungkin tanpa hambatan.
Padahal, hukum tak main-main soal ini. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Pasal 158, menyatakan dengan tegas: siapa pun yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin, bisa dihukum 5 tahun penjara dan didenda hingga Rp100 miliar.
Namun di Balayo, pasal-pasal itu tak berarti. Yang berlaku adalah kekuasaan di balik ekskavator dan ketakutan yang membungkam aparat. Kini, kerusakan bukan hanya merobek tubuh bumi, tapi juga kepercayaan warga terhadap negara. Ketika makam pun bisa digusur demi emas, dan aparat memilih bungkam, kita harus bertanya: hukum untuk siapa?
Dan Balayo menjawabnya dengan luka yang menganga.